REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hak untuk dilupakan (right to be forgotten) yang terdapat dalam revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dinilai akan berdampak dalam proses penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu).
Dalam era demokrasi seperti sekarang, partisipasi publik untuk memilih calon Presiden, kepala daerah, atau anggota legislatif cukup besar. Penghapusan informasi terkait hak untuk dilupakan akan menyulitkan publik mengakses rekam jejak calonnya.
"Padahal publik butuh latar belakang mereka supaya punya gambaran seorang calon. Ketika ada beberapa info dihapuskan, publik jadi tidak tahu," ujar Kepala Divisi Riset Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Asep Komarudin kepada Republika.co.id, Selasa (29/11).
Dia mendukung adanya pasal tentang hak untuk dilupakan, namun pengaturannya bukan di UU ITE. Indonesia, kata dia, mencontoh Eropa terkait praktik hak untuk dilupakan ini. Bedanya, Eropa sudah mempunyai sistem perlindungan data pribadi yang kuat terhadap warganya baik di offline maupun online.
Data-data itulah yang bisa diajukan untuk dihapuskan. Untuk itu Asep menyarankan apabila Indonesia hendak mencontoh Eropa, maka pemerintah harus terlebih dulu mempunyai UU data perlindungan pribadi.
Asep berpendapat, pasal 26 revisi UU ITE masih belum jelas. Apalagi mengenai informasi apa saja dan letak informasi yang bisa dihapus. Apakah dari mesin pencari di internet atau media-media online.
Menurut dia, ketika seseorang diadili di pengadilan kemudian diputus tidak bersalah, maka sebenarnya tidak perlu menghapus informasi. "Kalau tidak salah tidak perlu takut. Terus kalau minta penghapusan data oleh pengadilan, namun ternyata publik bisa mendapat data tersebut (dari sumber lain) bagaimana aturannya?," ujar Asep.
Dia mengatakan hak untuk dilupakan berpotensial melanggar hak warga dalam memperoleh informasi. "Di satu sisi hak dilupakan bagus, tapi dengan rumusan pasal yang masih seperti ini, kemungkinan disalahgunakan cukup besar," ujarnya.