REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB, Dr Luky Adrianto mengatakan, perusahaan asuransi belum adaptif untuk nelayan sehingga asuransi nelayan belum efektif berjalan.
"Terjadi dual persepsi antara nelayan dan perusahaan asuransi. Asuransi belum adaktif dan nelayan punya gambaran buruk tentang asuransi," kata Luky usai konferensi internasional manajemen wilayah pesisir yang berlangsung di Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (29/11).
Dia menjelaskan, asuran nelayan memiliki tujuan untuk mereduksi resiko tinggi yang dijalani nelayan, serta mensejahterakan perekonomiannya. "Pekerjaan nelayan itu tergolong berisiko tinggi, tidak ada nelayan kita tidak makan ikan, dan nelayan belum tentu juga mendapatkan ikan setiap harinya," kata dia.
Menurut Luky, beberapa negara seperti Jepang, sangat menghargai pekerjaan nelayan dan petani. Karena dari merekalah kebutuhan pangan, ikan dan padi dihasilkan.
Remaja di Jepang diajarkan untuk menghormati nelayan dan petani, mengundang mereka sebagai tamu kehormatan dalam setiap kegiatan. "Akademisi dan NGO menjadi teman dekat nelayan dan petani, karena mereka belajar implementasi dari nelayan dan petani," katanya.
Tapi, kondisi tersebut berbeda di Indonesia, hidup petani dan nelayan belum sesejahtera negara bahari lainnya. Sementara 2/3 luas wilayah Indonesia adalah laut, secara otomatis jumlah masyarakat pesisir jauh lebih banyak dari negara sekelas Jepang.
Luky menyebutkan, karena tingginya resiko hidup dan pekerjaan nelayan itulah makanya perlu ada perlindungan. Dengan tingginya resiko belum tentu nelayan mendapatkan hasil optimal, tapi nelayan memiliki keahlian lebih dalam melakukan penangkapan ikan. "Tujuan kita dengan asuransi, resiko tinggi pada nelayan harus direduksin, kehidupan ekonominya harus didukung," katanya.
Ia menjelaskan, prinsip asuransi harus memberikan perlindungan kepada nelayan, terlindung dalam konteks bekerja, sehingga ada kepastian," katanya.
Di Jepang dan Korea, lanjutnya juga mengimplementasikan asuransi dengan model perlindungan dari kecelakaan, jiwa dan properti. "Harusnya asurasi nelayan di Indonesia menerapkan model ini, karena properti penting bagi nelayan," katanya.
Persoalan yang terjadi, lanjutnya, bisnis asuransi tidak semua dipercaya oleh orang, termasuk nelayan. Di satu sisi, perusahaan asuransi juga tidak mau ambil resiko. Sama halnya juga dengan industri perbankan yang tidak ingin beresiko memberikan pinjaman. "Perusahaan asuransi harus mengubah cara pandang bisnis asuransi kerangka asuransi kepada nelayan dan nelayan juga harus mengubah pandangannya bahwa tidak semua asuransi itu jelek," katanya.
Luky mengatakan, jika asuransi respek (peduli) kepada nelayan, mengetahui kehidupannya berbeda dengan petani dan yang lainnya, maka bisnis prosesnya berbeda.
Kondisi tersebut terjadi jarak, niat baik pemerintah untuk melindungi nelayan, tetapi proses asuransi belum adaktif terhadap pola hidup nelayan. "Kekurangan bisnis asuransi adalah tidak adaptif terhadap nelayan, sementara resikonya untuk mengurangi resiko nelayan," katanya.