REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menyiarkan cuplikan film dokumenter peristiwa yang terjadi pada 1998 di sesi terakhir agenda Silaturahim Tokoh-Tokoh Lintas Agama di kantor Kemenko Polhukam, Senin (21/11). Dalam kesempatan itu Wiranto mengatakan tidak ingin peristiwa 98 tersebut terulang kembali menyusul situasi negara yang menghangat belakangan.
"Untuk memori kita, izin dua menit, saya mencuplik untuk kita refleksi kembali apa yang saya hadapi dulu (dengan) yang dihadapi bapak ibu sekalian. Mungkin kita dulu saling berhadapan, ada yang demo, ada yang maki-maki Pak Wiranto ya enggak apa-apa. Itu kan masa lalu, yang membuat ada satu perubahan," ujar dia.
Wiranto juga mengajak para tokoh lintas agama itu untuk mengingat peristiwa kerusuhan 1998 itu dan menjadi bahan merefleksi diri sehingga peristiwa itu tidak terulang lagi. "Karena tatkala itu terjadi, itu setback, seluruh sistem nasional runtuh, dan kita mengemas kembali dan belum tentu kita bisa berhasil mengemas dalam waktu yang sangat singkat," ujar dia.
Menurut Wiranto, peristiwa kerusahan pada 1998 itu merupakan wujud national disorder, di mana orang saat itu tidak lagi mengenal hukum. Kondisi demikian berbahaya bagi Indonesia sebagai negaa yang sedang berkembang.
Karena itu, Wiranto mengajak para tokoh agama, tokoh-tokoh ormas agama dan masyarakat, untuk bersama menjaga negara dan mengingatkan kepada siapa pun negara ini bukan untuk dirusak. "Karena itu, mari, saya mewanti-wanti, kita hindari benturan-benturan yang mengarah ke sana," ucap dia.
Negara yang diwarisi oleh para para pendahulu, terang Wiranto, sedang dalam proses perawatan dan pembangunan. Di dalam proses itu, diakui dia, pemerintah diminta ikut bertanggung jawab atas kasus penistaan agama yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Justru, lanjut dia, kesalahan yang dilakukan secara personal harus dikembalikan kepada orang itu sendiri. Menurut Wiranto, tidak adil jika negara yang bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan secara perseorangan. "Ini kan tidak adil dan tidak benar. Kalau itu terus dipaksakan, tentu akan terjadi sesuai yang tidak kita harapkan," katanya.