Sabtu 19 Nov 2016 01:10 WIB

'Minta Disuntik Mati' (Menyikapi Ahok Jadi Tersangka)

Soenarwoto Prono Leksono
Foto: istimewa
Soenarwoto Prono Leksono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: H. Soenarwoto Prono Leksono *)

Malam itu, saya tak bisa menonton tayangan Indonesia Lawyer Club (ILC)--yang sudah sejak sore saya tunggu-tunggu kehadirannya. Sebab, selepas shalat Maghrib mendadak saya dapat kabar dari seorang kawan, ada tokoh agama di kota kami meninggal dunia. Innalillahi wainnaillaihi rajun

Selain sebagai tokoh, almarhum juga pernah sebagai pimpinan ormas keagamaan di kota kami. Karenanya, begitu mendapat kabar duka itu, saya langsung berangkat takziah dan ikut menghadiri prosesi pemakamannya yang berakhir sampai larut malam. Maka, saya pun tak bisa menyaksikan tayangan ILC.

Tayangan ILC malam itu kabarnya berlangsung seru, panas, dan lebih berbobot dari biasanya. Nara sumbernya para tokoh ulama nasional berkualitas, hadir pula Panglima TNI dan Kapolri. Rasanya, sayang sekali jika melewatkannya.

Malam itu saya sedih. Sedih sekali. Tapi, kesedihan saya bukan karena tidak bisa menonton tayangan ILC itu. Tapi, saya sedih mendengar tentang proses kematian tokoh agama di kota kami itu, yang prosesi pemakamannya baru saya ikuti tadi.

Menurut cerita anaknya, almarhum saat menghadapi sakaratul maut sempat minta 'disuntik mati'. Hal itu karena almarhum tidak kuat menahan rasa sakit yang sangat menyiksanya. "Aku wis ora kuat, tulung ngongkon dokter aku jaluk disuntik mati wae," kata anaknya menirukan permintaan almarhum.

Dalam waktu cukup lama almarhum diketahui terlihat tersengal-sengal dan bergelonjotan tubuhnya. Penuh kesakitan. Almarhum berusaha memegangi dadanya dengan mata mendelik-mendelik. Ketika siuman, almarhum bilang dadanya seperti terjepit, sulit dibuat bernapas. Jantungnya seperti tersayat sembilu. Sangat perih.

Anak-anaknya yang melihat ayahnya itu hanya bisa menangis. Mereka tidak tega melihat peristiwa itu; detik-detik ayah yang sangat dicintai menghadapi sakaratul maut yang terlihat begitu menyakitkan dan mengerikan.

Meski demikian anak-anaknya tetap tegar imannya, enggan memenuhi permohonan ayahnya. Sebab, 'suntik mati' itu sama halnya bunuh diri. Itu jauh dari rahmat-Nya. Itu tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.

Untuk itu, anak-anaknya memilih sibuk beristighfar dan berdoa. Memohon kepada Allah SWT, agar ayahnya dimudahkan dan diringankan sakaratul mautnya. Tidak didera rasa sakit yang sangat, dan memohon ayahnya tetap mendapatkan rahmat-Nya, meninggal dunia dengan tanpa harus "disuntik mati".

"Alhamdulillah, ayah akhirnya meninggal dengan wajar ketika hendak dibawa ke rumah sakit. Semoga penuh ampunan dan mendapat rahmat-Nya," ucap syukur anak-anaknya.

Mendengar cerita ini, saya jadi tambah takut menghadapi sakaratul maut. Betapa tidak. Seorang tokoh di kota kami yang sekelas kiyai, orang yang baik sepanjang hidupnya dan alim, pada akhir hayatnya nyaris tidak khusnul khatimah.

Almarhum hampir berputus asa dari rahmat-Nya. Almarhum minta 'disuntik mati' karena tidak kuat menahan rasa sakit yang sangat dalam sakaratul mautnya. Lalu, bagaimana dengan saya, yang hanya sebagai orang biasa dan berlumur dosa ini?

Seketika badan saya merinding. Takut. "Ya Rabb, ampunilah salah dan dosa-dosa hamba ini. Mudahkan, dan ringankanlah sakaratul maut kami. Ya Rabb, matikanlah hamba ini dalam keadaan penuh rahmat dan khusnul khatimah," panjat saya dengan penuh harap dan ratap malam itu.

Sementara soal tayangan ILC tadi malam itu, esok paginya saya tanyakan kepada seorang kawan. Satu per satu diceritakan dengan runtut dan rinci. Tapi, kawan mengaku kecewa berat dengan penampilan seorang nara sumber di tayangan ILC itu. Sebab, nara sumber tua dan tokoh agama itu tidak seirama dengan mayoritas suara kita (Muslim). Ia malah ngotot membela Ahok.

"Ia bersikukuh bahwa Ahok tidak menista Alquran. Ngaconya lagi, dengan mengutip kiriman sms di hp-nya, katanya yang hadir di ILC malam itu adalah bala 'tentara setan'. Padahal, yang hadir adalah para ulama, Panglima TNI, dan Kapolri," ucap kawan saya dengan nada tinggi.

Agar tidak mencipta emosi, ia segera saya ajak memaafkan dan memakluminya. "Iya Cak benar, pada akhirnya kita memang harus memaklumi. Ia sudah tua. Begitulah orang tua kalau sudah bau tanah, kelakuannya sering berubah menjadi bocah," ucap kawan sinis.

Tapi, sergah kawan itu segera, ini sangat ironis sekali. Nara sumber itu dulu pemimpin ormas besar di negeri ini. Ia pemimpin umat. Ia dekat dengan kita semua. Ia terbilang merupakan bagian dari nafas kita. Eh, ia sekarang berkhianat.

"Ah, sudah..sudah. Ente jangan tambah bikin panas suasana. Ingat, kita sebagai orang muda harus tetap hormat kepadanya. Doakan beliau meninggal dalam keadaan khusnul khatimah. Dimudahkan sakaratul mautnya," pinta saya untuk mengakhiri protes kawan karena Ahok kini juga sudah jadi tersangka penista agama.

*) Penulis tinggal di Madiun, Jawa Timur

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement