Kamis 17 Nov 2016 17:49 WIB

'Pelajaran Teror Samarinda, Jangan Terpancing Kegaduhan di Ibu Kota'

Syaiful Bakhri
Foto: istimewa
Syaiful Bakhri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus teror bom molotov di Gereje Oikuneme, Samarinda, Ahad (13/11), kembali menggores kehidupan damai antarumat beragama di Indonesia. Apalagi teror itu terjadi hanya berselang beberapa hari dari demo besar umat Muslim di Jakarta pada 4 November.

Meski secara tidak langsung, dua peristiwa itu dinilai memiliki benang merah sebagai bagian dari kelompok-kelompok yang ingin merusak kebinekaan dan persatuan NKRI. Caranya, dengan memanfaatkan 'kegaduhan' di Ibu Kota yang dipicu kasus penistaan agama dalam pencalonan gubernur DKI Jakarta.

"Saya kira kejadian teror di Samarinda ada keterkaitan dengan peristiwa demo di Jakarta sebelumnya. Pelaku terorisme selalu memanfaatkan kondisi kacau negara dengan membuat teror. Tujuannya agar masyarakat makin ketakutan," kata salah satu kelompok ahli BNPT, Syaiful Bakhri, di Jakarta, Kamis (17/11).

Ia menegaskan aksi-aksi massa seperti 4 November kemarin sangat mungkin diboncengi oleh kelompok radikal untuk melakukan aksi terorisme. Untuk itu, ia mengimbau agar masyarakat jangan terpancing hasutan kasus penistaan agama yang dilakukan calon gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Selain itu, ia juga mengajak para ulama dan tokoh masyarakat untuk berperan menyuarakan kedamaian ke seluruh umat. "Terorisme itu gerakan laten dan terorisme itu kejahatan luar biasa. Bangsa Indonesia sudah sangat menderita akibat aksi terorisme yang selama ini terjadi. Kekacauan yang terjadi kemarin ini mencuri start dari polemik di Ibu Kota. Kalau ini berkepanjangan dan makin meluas, tentu akan memicu potensi terorisme lebih besar," terang Syaiful.

Pria yang juga guru besar hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta mengaku agak khawatir dengan rencana akan kembali digelarnya aksi massa gelombang kedua. Apalagi akan ada juga aksi unjuk rasa kebinekaan. Hal itu dinilainya sangat berbahaya dan berpotensi menimbulkan gejolak dan bentrokan sosial. Ia khawatir kalau rencana aksi susulan itu kembali digelar, dampak dan ancaman ketertiban nasional akan semakin besar.

Untuk meredam kemungkinan terjadinya gejolak itu, Syaiful Bakhri mengungkapkan ada dua instrumen yang mesti dijalankan pemerintah. Salah satunya adalah ketegasan pemerintah untuk bisa menunda pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta. Menurutnya, langkah itu itu adalah bagian antisipasi dari kemungkinan ancaman disintegrasi bangsa lebih besar, sebagai dampak dari kasus penistaan agama dalam Pilkada DKI Jakarta.

Seperti diketahui kasus penistaan agama memasuki babak baru, setelah Bareskrim Polri secara resmi menetapkan Ahok sebagai tersangka, Rabu (16/11/2016), sehari setelah dilakukan gelar perkara secara terbuka. Menurut Syaiful, setelah ini akan ada babak baru yaitu pengadilan. Dengan status tersangka itu, dikhawatirkan akan menimbulkan keguncangan pada Pilkada DKI Jakarta yang digelar 15 Februari 2017.

"Bisa saja ada partai pendukung yang tidak mau ambil resiko melanjutkan dukungan, setelah penetapan tersangka. Begitu juga bila yang bersangkutan menarik diri, maka akan ada sanksi pidana dan denda sesuai UU Pilkada. Keadaan ini bisa menimbulkan kekisruhan politik karena itu akan menyulitkan dalam melakukan persiapan calon yaitu kampanye," ungkapnya.

Dengan kondisi politik yang terus berkembang, sementara komunikasi terganggu, Syaiful memperkirakan kemungkinan terjadi kerusuhan cukup besar. Dengan begitu, sesuai undang-undang Pilkada bisa ditunda. 

Sebenarnya, tegas Syaiful, perkara penistaan agama dalam hukum pidana hanya memiliki dua elemen penting yaitu penistaan agama dan mengajak orang tidak beragama. Dengan dua elemen itu, sangat sederhana dan mudah untuk dibuktikan, tidak perlu tafsir dan kaidah bahasa karena perbuatannya sudah selesai dilakukan.

Syaiful juga mengomentari tersangka teror Samarinda yang dilakukan mantan napi terorisme, Juhanda. Menurutnya, fakta itu harus jadikan landasan bagi pemerintah dan ulama untuk meningkatkan sinergi dalam melakukan deradikalisasi. Pasalnya, deradikalisasi itu memang rumit. Selain ahli di bidang ideologi, agama, maupun kebangsaan, juga dibutuhkan pendekatan yang humanis dan tidak menggunakan hukum pidana, media kekerasan, dan intelijen.

Apa yang telah dilakukan pemerintah, dalam hal BNPT, dinilai sudah bagus, meski perlu terus dilakukan penyempurnaan. "Sinergi antar lembaga terkait dan peran masyarakat dalam menjalankan deradikaliasi itu mutlak agar program ini berjalan dengan baik," pungkas pria kelahiran Kotabaru, Kalimantan Selatan ini.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement