REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar ekonomi Emil Salim menilai pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu menjadi pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable). Ini akan terjadi apabila aspek-aspek seperti sosial dan lingkungan hidup diabaikan.
"Sustainable growth (pertumbuhan berkelanjutan) tidak selalu identik dengan high growth (pertumbuhan tinggi). Kalau high growth tapi menimbulkan kerusakan ya tidak ada artinya," ujar Emil saat media workshop di Jakarta, Selasa (15/11).
Menurut Emil, pertumbuhan berkelanjutan mengutamakan kualitas di mana ada integrasi antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ia mencontohkan industri rokok yang menyumbang investasi sekitar 1,9 miliar dolar AS. Investasi tersebut memang dapat meningkatkan perekonomian domestik, namun dari sisi manfaat tidak tercapai.
"Income growth naik, tapi rokok itu kan menghancurkan otak anak muda," ujarnya.
Emil juga menyinggung industri perbankan dalam menyalurkan pembiayaan jangan hanya mengukur dari nominal ekonominya saja. Ia menilai pola pikir para pimpinan bank juga perlu diubah dengan menyertakan analisis dampak sosial dan dampak terhadap lingkungan dalam proyek yang dibiayai.
"Jangan lihat dari untung bank saja, tapi juga aspek sosial dan lingkungan secara serentak. Lembaga bank orientasinya harus berubah," kata Emil.
Presiden Joko Widodo pada awal November lalu sempat menyatakan keinginannya agar pertumbuhan ekonomi pada 2018 bisa melampaui 6 persen. Sementara itu, dalam dua tahun terakhir pertumbuhan ekonomi sendiri susah payah menyentuh angka 5 persen.