REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Police Watch (IPW) menilai, tidak ada pilihan bagi Polri selain membuka kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) secara transparan. Hal tersebut bertujuan agar bisa diketahui publik dengan terang benderang.
"Salah satunya adalah melakukan gelar perkara terbuka. Sebab kasus ini sudah mendapat perhatian dan sorotan luar biasa dari masyarakat," kata Ketua Presidium IPW Neta S Pane kepada Republika.co.id, Senin (7/11).
Konsekuensinya, kata dia, penyidik tidak bisa bermain-main dalam memproses kasus ini. "Kasus ini sudah menjadi bola panas yang akan segera 'dilepaskan' Polri agar bisa meredakan gejolak di masyarakat," kata Neta.
Neta menyebut, selain memeriksa Ahok dan saksi ahli, yang perIu ditelusuri polisi adalah apakah Ahok dalam menyampaikan pernyataan Surah al-Maidah ayat 51 itu memang atas inisiatifnya sendiri atau dari orang lain. Sebab, dengan mengetahui dari mana Ahok mendapat bahan yang diucapkannya, hal itu bisa menjadi petunjuk untuk menguak motif dan tanggung jawab pidananya.
Apabila Ahok dalam melakukan dugaan penistaan agama mendapatkan masukan dari orang Iain, maka orang yang memberikan masukan itu dapat dikenai pertanggungjawaban pidana dengan tuduhan turut serta melakukan penistaan agama sesuai pasal 55 ayat 1 KUHP. Menurut dia, motif ini juga yang harus digali oleh polisi dalam mengungkap apa yang telah dilakukan oleh Ahok berdasarkan laporan pasal 156a KUHP Jo pasal 28 ayat 2 UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik dengan ancaman hukuman lima tahun penjara, sehingga kasusnya akan terang benderang.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengatakan, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar gelar perkara kasus dugaan penistaan dan penghinaan agama yang dilakukan Ahok dilakukan secara terbuka. Gelar perkara yang dilakukan secara terbuka kepada publik dan secara langsung diharapkan dapat menunjukkan kejernihan kasus tersebut.