Senin 24 Oct 2016 15:00 WIB

Dokter di Medan Demo Tolak Prodi Dokter Layanan Primer

Rep: Issha Harruma/ Red: Esthi Maharani
Ratusan dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menggelar unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Jalana Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin siang (24/10).
Foto: Republika/Muhyiddin
Ratusan dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menggelar unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Jalana Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin siang (24/10).

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Aksi unjuk rasa para dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga digelar di kota Medan, Sumatra Utara, Senin (24/10). Dalam aksinya, para dokter menyatakan menolak program studi Dokter Layanan Primer (DLP).

Sekitar seratus dokter yang merupakan perwakilan dari sejumlah daerah di Sumut dan perhimpunan dokter menggelar aksi mereka di depan kantor Gubernur Sumut, Jl P Diponegoro, Medan. Aksi damai yang dilaksanakan serentak di berbagai daerah ini bertepatan dengan hari ulang tahun IDI yang ke 66. Massa dokter pun membawa berbagai poster penolakan terhadap prodi DLP.

DLP merupakan lanjutan dari program profesi dokter yang setara dengan jenjang spesialis. Pendidikan minimal dua tahun itu disebut sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan kompetensi dokter. Para dokter menilai, DLP bukanlah solusi untuk meningkatkan pelayanan kesehatan.

Sekretaris Bidang Keorganisasian dan Sistem Informasi Kelembagaan IDI dr Khairani mengatakan, DLP bukanlah bentuk upaya kendali mutu SDM kedokteran, namun lebih pada upaya kendali biaya.

"Pemerintah bukan menyasar pada fasilitas kesehatan primernya tapi malah menyasar kualitas SDM-nya. Padahal begitu mahasiswa itu sudah menjadi dokter maka ia sudah cakap," kata Khairani.

Khairani menilai, para dokter yang telah menempuh sekolah kedokteran, menjalani koas kemudian mengikuti program intensif, sudah memiliki kecakapan. Apalagi, lanjutnya, dokter yang baru menyelesaikan studinya sudah dianggap mampu untuk melakukan 144 diagnosis.

Sayangnya, Khairani mengatakan, ada banyak faktor yang menjadi kendala bagi para dokter tidak bisa menuntaskan 144 diagnosis itu. Hal inilah, lanjutnya, yang harusnya diperbaiki pemerintah jika memang program DLP tersebut untuk kendali mutu dan biaya.

"Itu banyak faktornya, seperti masalah sarana dan prasarana, kesejahteraan dokter, manajemen transparansi keuangan, dan penghargaan pada jasa dokter. Jadi banyak hal yang perlu direformasi," ujar dia.

Perjuangan para dokter untuk menolak DLP ini disebut sudah berjalan selama dua tahun. Sebelumnya, IDI sudah melakukan rapat dengar pendapat dengan DPR RI dan hasilnya, DLP harus ditunda sampai ada kesepahaman antara pemerintah, pendidikan dan organisasi kedokteran. Namun, kenyataannya, prodi DLP masih berjalan.

Salah satu pihak yang merasa dikorbankan dengan adanya prodi DLP ini adalah Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI). Dengan program tersebut pemerintah dianggap telah mengorbankan dan menyampingkan dokter umum.

Ketua PDUI Sumut dr Dedi Irawan mengatakan, adanya DLP seolah membuat dokter umum menjadi golongan yang paling rendah.

"Pemerintah terkesan mengkastakan dokter umum. Sudahlah dokter umum ini golongan yang rendah, dengan adanya DLP ini kami menjadi kasta yang nista," kata Dedi.

Dedi pun menyebut prodi DLP adalah program yang dipaksakan. Meski sudah banyak penolakan yang disuarakan, namun pemerintah masih ngotot menjalankannya. PDUI Sumut berharap, presiden Jokowi bisa melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan prodi DLP.

"Kalau tetap tidak dicabut. Maka kami akan turunkan sepuluh kali lipat massa. Kami mungkin akan usulkan mogok pelayanan kesehatan, kecuali yang ada di instalasi gawat darurat dan ICU," kata Dedi.

Usai aksi, beberapa perwakilan massa dokter diterima Staf Ahli Bidang Hukum dan Pemerintahan, Noval Mahyar dan Plt Kadis Kesehatan Sumut, Agustama. Mereka pun berjanji akan meneruskan aspirasi para dokter ke pemerintah pusat.

"Kami juga akan minta masukan dari para dokter jika nanti dipanggil rapat ke Jakarta," kata Noval.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement