REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istri mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman meminta proses sidang praperadilan yang diajukan oleh suaminya berjalan seadil mungkin dan menghormati Hak Asasi Manusia.
"Saya minta prosesnya seadil mungkin dan hormati hak asasi manusia. Saya hanya inginkan keadilan, transparansi, dan kejujuran dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," kata Liestyana Rizal Gusman seusai menghadiri sidang perdana praperadilan Irman Gusman di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (18/10).
Sementara itu, terkait kondisi Irman Gusman di tahanan, ia menyatakan bahwa banyak hal yang tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia. "Banyak hal yang tidak sesuai dengan HAM, saya minta hargai lah hak Pak irman sebagai warga negara," ucap Liestyana.
KPK sendiri sebagai pihak termohon tidak hadir dalam sidang perdana praperadilan yang diajukan Irman Gusman. Menurut Hakim Tunggal I Wayan Karya, KPK menyampaikan permintaan penundaan sidang karena KPK butuh untuk menyiapkan administrasi, bukti, saksi, dan ahli.
Selain itu, kata I Wayan, alasan penundaan yang disampaikan karena KPK sedang menyiapkan sidang praperadilan lainnya dan ada dinas di luar kota. I Wayan Karya memutuskan menunda sidang praperadilan yang diajukan mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman hingga Selasa (25/10) pekan depan.
Irman Gusman telah diberhentikan sebagai Ketua DPD RI setelah?ditetapkan sebagai tersangka kasus pidana oleh KPK. Kasus ini diawali dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang terjadi pada Sabtu, 16 September 2016 dini hari terhadap empat orang yaitu Direktur Utama CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto, istrinya Memi, adik Xaveriandy dan Ketua DPD Irman Gusman di rumah Irman di Jakarta.
Kedatangan Xaveriandy dan Memi adalah untuk memberikan Rp100 juta kepada Irman yang diduga sebagai ucapan terima kasih karena Irman memberikan rekomendasi kepada Bulog agar Xaverius dapat mendapatkan jatah untuk impor tersebut.
Irman Gusman dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Xaverius dan Memi disangkakan menyuap Irman dan jaksa Farizal yang menangani perkara dugaan impor gula ilegal dan tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) seberat 30 ton dimana Xaverius merupakan terdakwanya.
Uang suap yang diberikan kepada Farizal adalah sebesar Rp365 juta dalam empat kali penyerahan, sebagai imbalannya, Farizal dalam proses persidangan juga bertindak seolah sebagai penasehat hukum Xaverius seperti membuat eksekpsi dan mengatur saksi saksi yang menguntungkan terdakwa.