Selasa 18 Oct 2016 12:14 WIB

Menakar Rasionalitas Politik Ahok

Red: M Akbar
Ubedilah Badrun
Foto:

Pemilih rasional adalah pemilih dengan latar belakang pendidikan yang cukup tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa di Jakarta sebanyak 51,98 persen warga Jakarta adalah lulusan SMA dan perguruan tinggi (BPS DKI Jakarta, 2015). Pemilih rasional juga memilih karena mempertimbangkan sejumlah argumentasi sebelum menjatuhkan pilihan.

Buktinya tidak ada Partai politik di Jakarta menang Pemilu berturut-turut. Berdasarkan sumber KPUD DKI Jakarta bisa ditemukan data bahwa pada pemilu 1999 PDI Perjuangan menang dengan kurang lebih 1,8 juta suara. Tetapi pada Pemilu 2004 hanya dapat sekitar 600 ribuan suara, dan pada Pemilu 2014 PDIP mendapat kurang lebih 1.3 juta suara.

Begitu juga PKS memperoleh suara 1 juta lebih pada Pemilu 1999, tiba-tiba pada Pemilu 2009 memperoleh suara 600 ribuan dan pada Pemilu 2014 memperoleh suara 500 ribuan. Begitu juga Partai Demokrat pada Pemilu 2009 memperoleh suara 1,2 juta suara tetapi pada pemilu 2014 hanya mencapai 300 ribuan suara. Data mudah bergesernya pilihan warga Jakarta pada setiap Pemilu tersebut secara umum menunjukan betapa rasionalnya pemilih di Jakarta.

Dengan mencermati data betapa rasionalnya pemilih di Jakarta, maka demo yang dinilai bernuansa SARA pada jumat 14 Oktober lalu yang diikuti puluhan ribu warga muslim Jakarta tersebut terjadi bukan karena subyektifitas (emosi) warga tetapi lebih karena elite politik Jakarta (Ahok) tidak memenuhi sarat demokrasi substantif yang kedua (rasionalitas elit politik yang matang).

Rasionalitas politik Ahok belum matang, terutama pada kemampuanya dalam beradaptasi dengan situasi sosial dan politik. Berpindah-pindah partai politik, berubah dari calon independen ke calon partai, lamanya mendapat dukungan pencalonan dari PDIP adalah fakta yang menunjukan lemahnya kemampuan adaptasi politik Ahok.

Hal itu diperparah dengan buruknya kemampuan komunikasi publik Ahok. Buruknya kemampuan komunikasi publik Ahok disebabkan karena lemahnya kemampuan adaptasi sosialnya. Tentu kemampuan adaptasi sosial mempengaruhi kemampuan adaptasi politiknya.

Terdengar kasar dalam berbicara, keseleo bicara soal Almaidah 51 dan menggusur warga miskin dengan melibatkan militer adalah contoh lain dari lemahnya kemampuan adaptasi sosial Ahok. Lemahnya kemampuan adaptasi ini mungkin bisa juga disebabkan karena faktor internal pribadi Ahok yang cenderung kurang mau mendengar orang-orang yang mengingatkanya.

Saya kira kasus hukum yang menimpa Ahok dalam perkara ucapannya tentang Almaidah ayat 51 seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi Ahok untuk melakukan semacam evaluasii mendasar tentang dirinya. Jika Ahok tidak melakukan evaluasi mendasar terkait kemampuan adaptasinya maka Ahok akan terus menjadi pemicu resistensi publik, kota Jakarta akan terus hiruk-pikuk.

Pertanyaanya adalah mungkinkah Ahok berubah?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement