REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Dewan Perwakilan Daerah, Irman Gusman, menolak untuk diperiksa penyidik KPK karena sedang mengajukan praperadilan terhadap penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengurusan kuota gula impor. Izin itu diberikan oleh Bulog kepada CV Semesta Berjaya tahun 2016 untuk Provinsi Sumatra Barat.
"Tidak ada pemeriksaan, karena Pak Irman tidak mau. Tunggu praperadilan, kita tunggu saja," kata pengacara Irman, Razman Nasution, di gedung KPK Jakarta.
Namun Irman tidak banyak berkomentar mengenai penolakan tersebut. "Sama pengacara saya saja ya, yang penting di sini dulu ya," kata Irman singkat.
Irman memang mengajukan gugatan praperadilan, dan sidang perdananya rencananya akan dilakukan pada 18 Oktober 2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dipimpin oleh hakim tunggal I Wayan Karya.
"Pak Irman sekarang sedang melakukan dua hal. Pertama Pak Irman sedang melakukan upaya hukum praperadilan di PN Jaksel, itu dimulai 18 Oktober. Kedua Pak Irman sedang didiagnosis dokter RSPAD, beliau harus menjalani operasi karena ada gangguan jantung serius, akan dipasangkan dua ring," tambah Razman.
Razman juga mengaku sempat berdebat dengan salah satu penyidik KPK terkait hal itu, karena menilai saat mantan menteri agama Suryadharma Ali dan mantan menteri ESDM Jero Wacik mengajukan praperadilan, keduanya juga tidak menjalani pemeriksaan KPK.
Kasus ini diawali dengan operasi tangkap tangan (OTT) yang terjadi pada Sabtu, 16 September 2016 dinihari terhadap empat orang, yaitu Direktur Utama CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto, istrinya Memi, adik Xaveriandy dan Ketua DPD Irman Gusman di rumah Irman di Jakarta.
Kedatangan Xaveriandy dan Memi adalah untuk memberikan Rp 100 juta kepada Irman yang diduga sebagai "ucapan terima kasih" karena Irman memberikan rekomendasi kepada Bulog agar Xaverius dapat mendapatkan jatah untuk impor tersebut.
Irman Gusman disangkakan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Xaverius dan Memi disangkakan menyuap Irman dan jaksa Farizal yang menangani perkara dugaan impor gula ilegal dan tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) seberat 30 ton, di mana Xaverius merupakan terdakwanya.
Uang suap yang diberikan kepada Farizal adalah sebesar Rp 365 juta dalam empat kali penyerahan, sebagai imbalannya, Farizal dalam proses persidangan juga betindak seolah sebagai penasihat hukum Xaverius seperti membuat eksepsi dan mengatur saksi-saksi yang menguntungkan terdakwa.