Selasa 04 Oct 2016 20:10 WIB

Perlindungan Hukum PRT di Indonesia Dinilai Masih Lemah

Rep: Christiyaningsih/ Red: Yudha Manggala P Putra
Ilustrasi
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Perlindungan hukum bagi para pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia dinilai masih lemah. Kondisi ini disebut tercermin dari belum adanya standar yang baku mengenai hak dan kewajiban PRT atau asisten rumah tangga (ART) di Indonesia.

Apabila ada kasus yang menyangkut buruh migran, dengan cepat bisa terekspos dan diadvokasi. Sementara nasib para ART lokal di tanah airnya sendiri justru bernasib sebaliknya.

Fenomena ini menjadi sorotan tersendiri bagi Organisasi Buruh Internasional di bawah PBB (ILO). Rendahnya kompetensi ART dalam negeri serta lemahnya kesadaran majikan akan hak-hak pekerja membuat masyarakat tak menaruh perhatian banyak pada masalah ini.

Padahal selama ini pekerja domestik selama ini didominasi wanita dan banyak pula majikan yang mempekerjakan anak di bawah umur. Mereka adalah kaum yang rentan terhadap kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Deputi Direktur kantor perwakilan ILO di Jakarta, Michiko Miyamoto, mengungkapkan salah satu penyebab lemahnya perlindungan adalah tidak adanya standar kerja ART. Ini lantaran Indonesia belum meratifikasi konvensi ILO tentang kerja layak untuk pekerja rumah tangga.

“Dari hal yang sederhana misalnya bentakan atau ancaman dari majikan dianggap sudah biasa, padahal itu bisa melanggar hak pekerja menurut konvensi ILO,” terang Michiko saat ditemui pada Selasa (4/10) di Malang.

Ia menunjuk Filipina sebagai negara percontohan di ASEAN yang menerapkan standardisasi ART dan buruh migran. Filipina telah meratifikasi konvensi ILO sehingga hak dan kewajiban pekerja memiliki payung hukum yang jelas. Termasuk di dalamnya standar gaji minimal yang diterima seorang ART.

Baik majikan ataupun ART seharusnya saling memahami hak dan kewajiban masing-masing agar terjadi hubungan kerja yang seimbang. Oleh karenanya untuk meningkatkan nilai tawar, ART harus dibekali kemampuan dan intelektualitas yang cukup. “ART harus kritis karena mereka bekerja di ranah privasi, bukan seperti karyawan di sebuah perusahaan,” imbuhnya.

ILO, lanjut Michiko, tengah menggalakkan Sekolah ART di Jakarta, Makassar, Lampung, dan Malang. Malang merupakan kota pertama yang dipilih untuk meluncurkan Sekolah ART pada Selasa (4/10).

Irfan Affandi selaku Koordinator Provinsi Jatim dalam proyek ILO Promote membeberkan sampai saat ini belum ada data yang valid mengenai jumlah pekerja domestik di Indonesia. Namun berdasarkan pendataan berbagai LSM, jumlah ART diperkirakan mencapai lebih dari tiga juta pekerja. Apabila didasarkan pada asumsi jumlah kelas menengah di Indonesia, sedikitnya terdapat 10,6 juta ART.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement