REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, mengatakan negara semestinya hadir dalam penyembuhan trauma politik masyarakat akibat tragedi Gerakan 30 September (G30 S) 1965. Negara harus menetapkan bentuk-bentuk rekonsiliasi yang semestinya dapat diberlakukan terhadap korban G30 S.
"Saya pikir negara harus benar-benar hadir dalam mengawal penyelesaian dampak tragedi G30 S. Utamanya terhadap trauma politik bagi para korban dan keluarga korban," ujar Asvi dalam diskusi "Gerakan 30 September Hari ini: Rekonsiliasi dan Sejarah Masa Depan Indonesia", di Jakarta, Jumat (30/9).
Karena itu, pemerintah sebaiknya membentuk tim yang independen untuk mengkaji fakta sejarah, laporan pelanggaran dan kejadian-kejadian pada 30 September 1965 dan periode sesudahnya. Menurut Asvi, keberadaan tim ini penting untuk melanjutkan kajian dan penelitian dari berbagai LSM yang selama ini fokus terhadap kasus G30 S.
Presiden, lanjutnya, yang semestinya mengambil langkah tegas dalam pembentukan tim independen ini. Adapun anggota tim disarankan berasal dari berbagai unsur masyarakat, latar belakang agama, etnis dan sebagainya.
"Sekarang tinggal kumpulkan saja orang-orangnya. Dalam satu dua tahun saya pikir udah selesai, sehingga mereka bisa memutuskan mana di antara kasus-kasus itu yang layak diajukan ke pengadilan dan mana yang bisa diselesaikan secara rekonsiliasi," jelas Asvi.
(Baca Juga: Peringatan G30S/PKI Sepi, MUI: Apa Rezim Ini Pro PKI?)