REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Antropolog Universitas Indonesia, Haryono mengatakan, penggusuran bukan cara yang rasional dalam proses pembangunan. Ia mengatakan, masyarakat miskin kota juga menjadi bagian yang dibutuhkan oleh kota. Karena banyak sektor-sektor yang hanya dapat diisi oleh masyarakat miskin kota.
"Kemarin Bukit Duri misalnya, aktivitas ekonomi masyarakat Bukit Duri itu di Pasar Jatinegara, ada pasar ada kuli angkut, ada pedagang-pedagang murah, mereka biasanya memang datang dari luar daerah bekerja di sektor-sektor informal," katanya, Jumat (30/9).
Haryono mengatakan, para pendatang akan menetap di tempat yang sesuai dengan pendapatan mereka. Yang menjadi masalahnya saat ini pemerintah tidak menyediakan fasilitas. Sehingga mereka tinggal di tempat yang tidak seharusnya karena murah.
Haryono menambahkan, karena banyak sektor yang membutuhkan tenaga mereka, maka pemerintah harus mengatur pemukiman di antara kelas menengah, atas dan bawah. Karena jasa dan ekonomi mereka saling terkait, kata Haryono, maka penggusuran bukan solusi pembangunan.
"Aktivitas ekonomi mereka di Pasar Jatinegara, Pasar Manggarai, lokasi ekonomi yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka, inilah yang harusnya diatur pemerintah," katanya.
Ia mengatakan, pengkonsentrasian di Rawa Bebek menambah persoalan masyarakat miskin kota. Karena sangat jauh dari aktivitas ekonomi mereka. Penolakan dari masyarakat pun, kata Haryono, dapat diterima melihat dari efektif tidaknya tempat tinggal mereka.
"Di Bukit Duri mungkin mereka jalan kaki sudah sampai, atau naik angkot Rp 3.000 sudah sampai, kalau di Rawa Bebek kita tahu sendiri letaknya Rawa Bebek di mana," tambahnya.
Ia menambahkan, semakin banyak penggusuran akan dapat menghilangkan pekerja yang mengisi sektor-sektor informal. Karena tambah kehadiran para pendatang pun kota akan lumpuh. "Tidak ada yang mengakut di pasar, di pusat perdagangan, tidak ada mereka kota akan lumpuh," katanya.
Haryono mengatakan, upah pekerja tanpa keahlian seperti kuli angkut sangat rendah. Karena itu mereka mencari tempat tinggal yang murah. Mereka memanfatkan kontrakan-kontrakan murah yang tanpa pengawasan pemerintah. Dengan adanya kontrakan, maka munculah pemukiman. Dengan adanya pemukiman muncul pedagang jajanan murah.
"Menurut saya apa yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta sama dengan pengusaha-pengusaha hutan di Kalimantan, mereka berlindung di balik hukum formal, kalau masyarakat setempat protes mereka akan ke pengadilan yang pasti masyarakat pasti kalah, karena hutan memang milik pemerintah dan mereka diberi kewenangan untuk mengelolanya, nah sama apa yang dilakukan oleh Pemprov DKI," katanya.