REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah warga korban penggusuran di Ibu Kota yang didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, hari ini mendatangi gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Mereka mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang PrP Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Penggunaan Tanah Tanpa Izin yang berhak atau kuasanya.
Pengacara publik dari LBH Jakarta, Tigor Hutapea mengatakan, UU tersebut telah merugikan hak masyarakat miskin kota berdasarkan UUD 1945. “Karena, UU itu membenarkan tindakan pemerintah untuk melakukan penggusuran secara sepihak terhadap warga dengan menggunakan jalan kekerasan dan melibatkan aparat tidak berwenang seperti TNI,” kata Tigor kepada Republika.co.id, Selasa (27/09).
Dia menjelaskan, korban penggusuran yang menjadi pemohon dalam perkara uji materi UU PrP Nomor 51 Tahun 1960 di MK ini berasal dari beberapa kawasan di Jakarta. Di antaranya, warga Papanggo (Jakarta Utara) dan Duri Kepa (Jakarta Barat).
Tigor mengungkapkan, para pemohon telah mengalami kerugian konstitusional berupa kehilangan tempat tinggal, terganggunya hak atas rasa aman, dan kerusakan harta benda mereka akibat digusur paksa oleh aparat Pemda DKI Jakarta. “Tak hanya itu, mereka juga harus kehilangan pekerjaan, dan pendidikan anak-anak mereka pun jadi terputus selama penggusuran tersebut berlangsung,” ujarnya.
Selama berada di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, kebijakan penggusuran memang acap kali menyasar warga kecil di Ibu Kota. LBH Jakarta mencatat, terdapat lebih dari seratus kasus penggusuran paksa di wilayah DKI sepanjang tahun lalu. “Berdasarkan hasil penelitian kami, ada 113 kasus penggusuran paksa yang dilakukan Pemda DKI dari Januari-Desember 2015,” kata peneliti LBH Jakarta, Yunita.
Ia menjelaskan, penggusuran paksa di Jakarta tahun lalu paling banyak terjadi di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara dengan jumlah masing-masing 31 kasus. Selanjutnya, disusul oleh Jakarta Pusat sebanyak 23 kasus, lalu Jakarta Barat dan Jakarta Selatan masing-masing 14 kasus. “Jumlah korban yang terdampak oleh semua penggusuran itu mencapai 8.145 kepala keluarga (KK) dan 6.283 unit usaha,” ucapnya.
Tahun ini, kata Yunita, kebijakan penggusuran di Ibu Kota semakin meningkat lagi jumlahnya. LBH Jakarta mencatat, ada 325 lokasi yang terancam digusur paksa oleh Pemda DKI sepanjang 2016. Perinciannya, 55 lokasi berada di Jakarta Barat, 54 di Jakarta Utara, 57 di Jakarta Pusat, 77 di Jakarta Selatan, serta 82 lokasi di Jakarta Timur. “Semua program penggusuran itu telah direncanakan melalui APBD. Jadi dananya telah disiapkan oleh Pemprov DKI,” tuturnya.
Fenomena penggusuran paksa warga di Jakarta juga mendapat sorotan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Lembaga itu menilai pelibatan aparat TNI dan Polri dalam berbagai penggusuran di Ibu Kota sebagai tindakan yang tidak wajar dan di luar batas kemanusiaan. Jumlah aparat yang dikerahkan Pemprov DKI ke lokasi penggusuran kadang juga tidak proporsional bila dibandingkan dengan jumlah warga yang digusur.
“Seperti penggusuran di Kampung Akuarium beberapa waktu lalu, misalnya. Pemprov DKI sampai menggerakkan 4.218 personel aparat gabungan (TNI, Polri, dan Satpol PP) hanya untuk menghadapi ratusan kepala keluarga. Arogansi kekuasaan seperti itu jelas tidak pantas dipertontonkan kepada publik,” kata Hafid kepada Republika.co.id.
Tak hanya di Kampung Akuarium, kata Hafid, Pemprov DKI Jakarta juga menggunakan metode yang sama saat melakukan penertiban kawasan Kalijodo pada Februari lalu. Pada waktu itu, aparat TNI, Polri, dan Satpol PP yang dikerahkan untuk mengamankan penggusuran di bekas lokasi bisnis prostitusi tersebut mencapai 6.000 orang jumlahnya.
Ia berpendapat, pengerahan pasukan militer dan kepolisian untuk menggusur warga secara paksa sama sekali tidak mencerminkan jati diri bangsa Indonesia. Sebaliknya, hal itu justru mencederai nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. “Ditambah lagi, saat proses eksekusi berlangsung, anak-anak yang tinggal di Kampung Akuarium tengah menghadapi ujian sekolah.”