REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR RI Ahmad Zainuddin mengungkapkan, kepemimpinan di DKI Jakarta saat ini memberikan keteladanan yang buruk bagi masyarakat.
Hal itu didasarkan atas penilaian terhadap ketidakpuasan kinerja yang muncul karena rendahnya serapan anggaran serta tidak berjalannya sejumlah program prioritas, seperti penuntasan kemacetan, banjir, serta pembangunan infrastruktur.
Dalam periode ini pula, ungkap Zainuddin, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sering sekali terlibat konflik dengan warga. Misalnya saja perihal terkuaknya kasus reklamasi.
Menurut dia, kasus tersebut membuka mata publik bahwa penggusuran-penggusuran rakyat kecil selama ini hanya untuk kepentingan pengusaha besar, bukan semata rehabilitasi jalur hijau, normalisasi sungai, atau reklamasi laut.
"Pemerintah yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta sekarang ini, represif. Kita perlu pemimpin tegas, tapi santun, paham agama dan merakyat," ungkap Zainuddin dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (16/9) malam.
Karena itu, Zainuddin mengajak warga di daerah pemilihannya di Jakarta Timur dan seluruh warga ibu kota Jakarta, untuk berpartisipasi dalam pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta 2017. ''Warga diharapkan memilih pemimpin yang tegas, tapi santun, paham agama dan merakyat,'' ajak Zainuddin.
Dia menyarankan warga agar memilih pemimpin yang memahami agama dan santun. "Dalam Islam, salah satu fungsi utama pemimpin adalah untuk melindungi agama. Jika pemimpinnya saja tidak paham agama, bagaimana akan melindungi," ujarnya.
Ia mengungkapkan dalam kegiatan sosialisasi Empat Pilar MPR RI yang diselenggarakan di Jatinegara, Jakarta Timur, pekan lalu, dirinya banyak menerima keluhan soal kebijakan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Keluhan tersebut misalnya, mengenai larangan sekolah-sekolah untuk melatih siswanya berinfak, berkurban, dan berkewajiban menggunakan jilbab bagi para siswi.
Dia menyebut pemerintah daerah (pemda) yang melarang sekolah anak didiknya berinfak atau berkurban telah mempersempit ruang gerak pendidikan agama. "Itu bertentangan dengan Pancasila," ujarnya. Pancasila ,jelasnya, memberi ruang luas bagi setiap warga negara untuk mengamalkan keyakinan agamanya sesuai sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, sikap toleransi harus dikedepankan. Pelarangan hal-hal yang bersifat pengamalan keyakinan dan agama tersebut tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 dan dapat memicu keresahan. Padahal, persatuan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dimulai dari adanya toleransi dalam menyikapi perbedaan.
Pemerintahan yang ada saat ini, kata dia, harus menjadi pelajaran bagi warga DKI agar ke depan memilih pemimpin yang lebih baik dalam memahami agama, santun dan berpihak pada masyarakat. Pemimpin yang baik ditunjukkan dengan hubungannya yang harmonis kepada rakyat, bukan konflik.