Kamis 15 Sep 2016 15:58 WIB

Lanjutkan Reklamasi, Walhi: Pemerintah Nodai Supremasi Hukum

Rep: Lintar Satria/ Red: Bayu Hermawan
Logo Walhi
Logo Walhi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai keputusan Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan yang melanjutkan proyek reklamasi Teluk Jakarta, khususnya di Pulau G, menunjukkan bahwa Pemerintah Pusat justru tidak mentaati hukum dan perundang-undangan.

Walhi menilai Pemerintah Pusat telah gagal memahami hak atas lingkungan hidup yang baik adalah hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara sebagaimana yang terdapat dalam Konstitusi.

"Apa yang dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman sesungguhnya merupakan tamparan keras bagi Presiden Joko Widodo," tegas Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati dalam siara pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (15/9).

"Karena di berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk menegakkan hukum, namun justru pemerintah sendiri yang bukan hanya tidak mentaati hukum, tapi juga menodai supremasi hukum, dengan melawan perintah pengadilan secara terbuka. Untuk itu, WALHI ingatkan Presiden untuk menghormati hukum," katanya melanjutkan.

Nur mengatakan apa yang dilakukan oleh Menko Maritim akan menjadi preseden hukum yang buruk dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Menurutnya Menko Kemaritiman sedang memperlihatkan dan mempraktekkan model pembangunan yang dilakukan serampangan, bahkan dengan melabrak Konstitusi, Perundang-Undangan dan supremasi hukum.

"Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat akan menjadi contoh bagi Pemerintah Daerah lain yang saat ini juga gencar mengkavling-kavling pesisir dan laut di berbagai daerah seperti reklamasi Teluk Benoa, reklamasi pesisir Makassar, reklamasi Teluk Palu, reklamasi Teluk Kendari, reklamasi di Manado, reklamasi Balikpapan, dan reklamasi di Maluku Utara," jelasnya.

Nur menambahkan hal ini juga akan memberi contoh bagi Pemerintah Daerah yang menyediakan kawasannya untuk diambil tanah dan pasirnya sebagai bahan material reklamasi, antara lain dari Banten, NTB, Jawa Timur dan Jawa Barat.  Penghancuran kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil semakin mendapatkan legitimasi, karena perbolehkan oleh Pemerintah Pusat.

Nur mengatakan hal ini juga menunjukan kejahatan korporasi difasilitasi oleh negara, bahkan melalui cara-cara yang melanggar hukum sekalipun. Pada akhirnya menjadi sangat wajar, jika negara tidak memiliki wibawa di mata korporasi.

"Kami juga menilai bahwa bersikukuhnya Pemerintah baik pemerintah pusat yang diwakili oleh Menko Maritim dan Sumber Daya maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengindikasikan relasi yang begitu kuat antara kekuasaan ekonomi dan politik. Negara tunduk di bawah kuasa modal," ujarnya.

Nur menjelaskan reklamasi kawasan pesisir dan laut, reklamasi Teluk Jakarta, termasuk di dalamnya Pulau G, bukan lah semata-mata perkara teknis yang selalu berujung pada rekomendasi teknis melalui rekayasa teknologi. Artinya, lanjut Nur, Menko Maritim berpandangan sempit dan sesat pikir, persoalan lingkungan hidup dapat diselesaikan secara teknis semata.

"Padahal bicara kawasan, artinya kita juga sedang bicara soal ruang hidup dalam berbagai aspek, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat, selain aspek lingkungan hidup," katanya lagi.

Hal itulah, lanjut Nur, sebelumnya Pemerintah Pusat membentuk Tim Kajian dalam 3 aspek, aspek hukum, aspek lingkungan dan aspek teknis, dan hasil Tim Kajian sebelumnya telah merekomendasikan penghentian reklamasi pulau G.

Menurut Nur hal juga menandakan bahwa Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman tidak memiliki kapasitas dalam memahami perencanaan dan pembangunan sebuah kawasan yang berkelanjutan dan berkeadilan, baik bagi lingkungan hidup maupun sumber-sumber kehidupan rakyat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement