Rabu 14 Sep 2016 14:41 WIB

Jual Obat Palsu, Pemerintah Harus Evaluasi Apotek Rakyat

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Agus Yulianto
Seorang petugas merapikan obat-obatan di salah satu apotek (ilustrasi).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Seorang petugas merapikan obat-obatan di salah satu apotek (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang Apotek Rakyat dinilai perlu ditinjau dan dievaluasi. Pasalnya belakangan ini, banyak obat palsu yang ditemukan di beberapa apotek rakyat.

Bahkan, menurut laporan Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM), sudah ada tujuh apotek rakyat ditutup. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengatakan, di satu sisi, apotik rakyat bisa memudahkan masyarakat untuk memperoleh obat. Namun di sisi lain bisa juga dijadikan tempat mengedarkan obat-obat palsu oleh orang-orang tidak bertanggung jawab.

"Karena itu, permenkesnya perlu dievaluasi. Kalaupun apotek rakyat dibolehkan beroperasi, namun harus diteguhkan pola pengawasannya," ujarnya, Rabu (14/9).

Selain itu, Permenkes Nomor 284 Tahun 2007 itu dinilai perlu dievaluasi agar sesuai dengan semangat Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009. Sebab, Permenkes tersebut masih merujuk pada Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992. Sejalan dengan revisi UU itu, Permenkes yang menjadi turunannya pun perlu dievaluasi dan disesuaikan.

"Permenkesnya harus dibaca dan dievaluasi lagi. Semangatnya, harus sejalan dengan aturan baru tersebut," kata politikus dari Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut.

Selain Permenkes tentang Apotek Rakyat, saat ini, Kemenkes juga sudah merevisi beberapa Permenkes lain. Saleh mengatakan, berbagai Permenkes yang sudah direvisi itu adalah Permenkes Nomor 30 Tahun Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, Permenkes Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, dan Permenkes Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Artinya, Permenkes yang baru saja dibuat, jika dinilai tidak sejalan dengan pengawasan dan pelayanan kesehatan dapat direvisi.

Tentu merevisi sebuah aturan hukum diharapkan, tidak menyebabkan kekosongan hukum. "Karena itu, arah perubahan aturan hukum adalah revisi dan penyempurnaan agar sesuai dengan perkembangan yang ada," ujar Saleh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement