REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia (UI), Prof Hasbullah Thabrany menegaskan, kenaikan harga rokok justru akan menguntungkan semua pihak, baik itu masyarakat, pemerintah, maupun industri rokok besar dan kecil.
Hal itu terkait hasil survei dari lembaga yang dipimpinnya, Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS) Universitas Indonesia (UI).Penelitian CHEPS-UI selama Desember 2015 hingga Januari 2016 menemukan, sebanyak 72,3 persen perokok Indonesia mau berhenti merokok bila harga rokok per bungkusnya naik menjadi Rp 50 ribu.
Hasil kerja CHEPS-UI itu termuat dalam “Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia” Volume 1 Nomor 1 Juli 2016.“Kita mencari yang paling optimum. Di mana orang masih beli, jumlahnya banyak, cukainya cukup banyak, tapi industri masih bisa bergerak,” ucap Prof Hasbullah Thabrany saat dijumpai awak media di Jakarta, Jumat (26/8).
Kenaikan harga rokok tak berarti konsumen seketika berhenti merokok. Hal itu sesuai dengan hasil temuan di berbagai negara. Dengan begitu, lanjut dia, kenaikan harga rokok justru memperbesar pemasukan baik kepada dunia industri maupun negara melalui cukai. Pengurangan konsumsi rokok pun melatih konsumen untuk hidup lebih sehat karena, bagaimanapun, rokok mengandung racun.
Karenanya, Hasbullah menilai, kekhawatiran bahwa dengan naiknya harga rokok maka industri, petani, dan buruh akan tumbang itu berlebihan. “Enggak ada yang berhenti (merokok). Hasil kajian kami akademisi, di berbagai negara, itu begitu yang terjadi,” kata dia. “Kalau harganya dinaikkan, justru mereka mendapatkan income yang lebih baik.”
Kendati demikian, Hasbullah menampik bahwa kenaikan harus drastis menjadi Rp 50 ribu per bungkus. Kenaikan harga menurutnya sebaiknya dilakukan secara bertahap. Cukai rokok pun selalu naik, yakni sekitar 12 persen per tahun.“Tapi, cukai naik 12 persen, penjualannya Sampoerna naik 17 persen rata-rata per tahun. Berarti, cukai dinaikkan, orang beli juga. Ya namanya kecanduan,” ujarnya.