Jumat 26 Aug 2016 15:15 WIB

Menkominfo Diminta tak Gegabah dalam Penetapan Biaya Interkoneksi

Salah satu menara BTS milik operator telekomunikasi
Foto: taufik rachman
Salah satu menara BTS milik operator telekomunikasi

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara disarankan untuk tak gegabah dalam penetapan biaya interkoneksi yang membuat industri telekomunikasi menjadi dirugikan. Demikian salah satu benang merah hasil Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara operator seluler dengan Komisi I DPR pada yang berlangsung pada Kamis (25/8).

“Ini (Paparan operator) akan menjadi pertimbangan nanti kala pertemuan berikutnya dengan Kominfo. Cari win-win solution, jangan dicari solusi yang win banget. Masa gak bangun jaringan agresif ada yang mau win banget, “ kata Anggota komisi I DPR RI Effendi MS Simbolon dalam RDPU.

Dalam RDPU hadir juga President Direktor/CEO XL Dian Siswarini, Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys, President Director dan CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli, Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah, dan Wakil Presiden Direktur Tri PT Hutchison 3 Indonesia M. Danny Buldansyah.

Anggota Komisi I DPR lainnya Evita Nursanty melihat ada ketidakadilan bagi operator yang giat membangun jika biaya interkoneksi diterapkan dengan tidak obyektif melihat fakta di lapangan. "Ada operator yang bangun segitu saja terus minta hak yang sama. Ini tak adil," tegasnya.

Sedangkan anggota Komisi I DPR Irine Yusiana Roba Putri meminta adanya komitemen pembangunan infrastruktur dari operator yang pro penurunan biaya interkoneksi terutama di Indonesia timur.

"Ada operator minta biaya turun, tetapi ada komitmen tidak untuk bangun di Indonesia Timur. Kalau Telkomsel itu sudah jelas bangun sampai daerah perbatasan dan itu biayanya besar," sindirnya.

 

Belum sepakat

Direktur Utama Telkom Group Alex J Sinaga mengungkapkan hingga saat ini belum ada kesepakatan soal angka Rp 204 untuk panggilan lokal seluler itu. "Dua surat kami ke Menkominfo Rudiantara pun belum berbalas, padahal beliau sendiri yang sarankan kirim surat resmi jika keberatan,” tegasnya.

 

Menurutnya, ada beberapa hal yang belum disepakati dan menjadi keberatan dari Telkom Group sebagai operator dominan yang datanya digunakan dalam menghitung revisi biaya interkoneksi.

“Pertama, kami keberatan kenapa kembali ke simetris padahal dalam pembahasan dokumen whitepaper sudah mengarah ke asimetris dan data input regional dengan biaya nasional. Dulu (perhitungan yang lama) kita mengalah sepakat simetris karena dijanjikan di perhitungan 2016 akan asimetris, kok tiba-tiba dibalikin ke yang lama. Ini kami sudah sering mengalah, sekarang tak bisa lagi. Kita ini menegakkan aturan, karena soal asimetris ini amanah aturan,” tukasnya.

Mengutip Surat DJPPI No.60/Kominfo/DJPPI/PI.02.04/01/2015 tanggal 15 januari tentang permintaan pendapat terhadap konsep Whitepaper Penyempurnaan  Regulasi Tarif & Interkoneksi dinyatakan Peraturan Menteri No 8/2006 pada dasarnya mengatur perhitungan interkoneksi secara asimetris. Pilihan perhitungan ini karena ingin membantu operator dalam pengembalian investasi yang harus dimanfaatkan untuk menciptakan kompetisi yang sehat, perluasan jaringan, peningkatan kapasitas, dan kualitas layanan.

Dalam Whitepaper juga dinyatakan data input biaya elemen jaringan berbasis regional dan menjumlahkan setiap biaya jaringan seluruh regional dengan trafik nasional agar dapat diperoleh perhitungan yang akurat dengan mempertimbangkan kondisi setiap wilayah Indonesia.

“Keberatan kedua kami adalah adanya perbedaan angka yang keluar antara hitungan sendiri dengan Kominfo. Hitungan kita haarusnya Rp 285, sementara mereka Rp 204. Padahal, kita pakai rumus yang sama. Makin kaco, itu pemerintah tak pakai Channel Data Rate yang ada,” ulasnya.

Diungkapkannya, Kominfo dalam menghitung menggunakan channel data rate 0,1 Mbps, sementara data komposisi pendapatan suara, SMS, dan data, range channel data rate 0,8 Mbps- 1,2 Mbps. “Saat kita klarifikasi kok keluar dari koridor, jawabannya tak jelas. Kalau deviasi dikembalikan ke koridor, kita tak masalah,” jelasnya.

 

Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah menambahkan dalam menetapkan utilisasi jaringan Geotype sub urban dan rural pemerintah juga melakukan kesalahan dimana menganggap sudah tergunakan 80 persen di tahun 2018. Padahal fakta di lapangan di area sub urban dan rural utilisasi maksimal bervariasi 6,3 persen-20 persen di tahun 2018.

Alex menegaskan, jika nantinya penurunan biaya interkoneksi dipaksakan di angka yang belum disepakati, artinya ada indikasi pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi mulai dari pasal 22 ayat 1, pasal 23 ayat 1 dan 2, serta pasal 37 ayat 2. Inti dari semua pasal ini adalah biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama, dan adil.

“Kalau dari hasil perhitungan Kominfo kami mengalami minus di sisi recovery cost karena dibayar dibawah biaya produksi, belum lagi competitive advantage dari Telkomsel seperti ditiadakan bukan oleh persaingan murni tetapi intervensi melalui regulasi. Ini tak sehat bagi kompetisi. Saya mohon Kominfo ikut pada aturan main yang berlaku,” gusarnya.

Sebelumnya, Komisi I DPR meminta Menkominfo Rudiantara untuk menunda keluarnya Peraturan Menteri (PM) tentang penetapan Biaya Interkoneksi per 1 September mendatang. PM itu kabarnya menguatkan   Surat Edaran No.115/M.Kominfo/PI.0204.08/2016 dimana biaya interkoneksi turun 26% secara rerata untuk 18 skenario panggilan di seluler.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement