REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia belum aman dari jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Pada Selasa (23/8), lima kementerian dan lembaga negara membuat nota kesepahaman untuk menangani TPPO yang merugikan warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri.
Dalam kesempatan itu, korban TPPO menuturkan kisahnya di hadapan para menteri. Dialah Fatonah binti Kikijaya, perempuan WNI yang terjebak iming-iming pelaku TPPO berkebangsaan Bangladesh sekira 2,5 tahun silam.
Fatonah mengatakan, awalnya pelaku mengajaknya untuk membuka klinik pengobatan herbal di Jeddah, Arab Saudi. Dia mengenang, pelaku sempat menyampaikan betapa besar uang yang akan ia peroleh bila menuruti tawaran itu.
Akhirnya, lanjut Fatonah, dirinya bersedia menerima ajakan tersebut. Sebab, hidupnya sehari-hari di kampung pun dirasakannya susah.
Fatonah diberangkatkan ke Jakarta untuk diproses urusan keimigrasiannya. Dia mengenang, kala itu dia diinapkan di satu ruangan bersama dengan 20 calon tenaga kerja wanita (TKW). Kondisinya tanpa alas sekadar untuk merebahkan badan.
“Cuma saya bertahan, karena saya sudah terlanjur waktu itu, Bu. Habisnya itu saya diproses kurang lebih 20 hari,” kata Fatonah binti Kikijaya di hadapan seratusan peserta di Gedung Utama Kantor Kemenlu, Jakarta, Selasa (23/8).
Keberangkatan ke Arab Saudi pun bertele-tele. Dari bandara Sukarno-Hatta, Fatonah menumpang pesawat ke Surabaya. Dari sana, ia lantas terbang ke Medan dengan maskapai yang sama.
“Saya berangkat lagi ke India. Sudah dari India, saya nyampai di Jeddah alhamdulillah dengan selamat,” ujarnya lirih.
Anehnya, selama di semua bandara tersebut hingga tiba di Arab Saudi, Fatonah dipaksa untuk berlagak sebagai orang mampu. Ia juga dibekali atribut ibadah umrah.
Sesampainya di Jeddah, Fatonah diinapkan di sebuah hotel yang sesak. Ternyata, sudah ada 10 orang yang senasib dengannya di sana. Mereka, termasuk Fatonah, dipaksa untuk bersembunyi dan tetap di kamar hotel.
“Ternyata, yang saya diiming-imingi akan dibukakan klinik herbal di Jeddah itu enggak ada. Habis begitu, saya dipekerjakan (sebagai pembantu mengurus) 16 anak, tiga istri, dalam satu rumah,” tutur Fatonah lirih.
Usianya yang renta membuatnya tak tahan lagi. Apalagi, pekerjaan tersebut berlangsung hampir 24 jam dalam sehari dan tujuh hari selama sepekan. Dia mengaku sering pingsan di rumah majikannya yang berlokasi di Riyadh.
“Yang tadinya saya berangkat dari sini (Indonesia), badan saya sehat. Pas datang ke sana (Jeddah), sekarang saya jadi punya penyakit jantung karena saya kerja nonstop siang dan malam (mengurus) 16 anak.”
Sudah begitu, orang Bangladesh yang mengiminginya dengan janji palsu itu tak bisa dihubungi. Bagaimanapun, Fatonah bersyukur bahwa majikannya cukup baik.
Sehingga, ia akhirnya diperbolehkan untuk kembali ke Indonesia. Dengan menumpang taksi dan diiringi salam perpisahan majikannya dan anak-anak mereka, Fatonah berangkat ke Kedubes RI terdekat. Itu dilaluinya selama 20 hari.
“Untung saya pergi ke KBRI. Saya pamit dengan majikan. Awal mulanya, ia tak izinkan saya pulang ke Indonesia karena kamu sudah kepakai di sini, mengurus anak dan sebagainya,” kata Fatonah.