Selasa 16 Aug 2016 20:59 WIB

Soal Arcandra, Menkumham Dinilai 'Hancurkan' Paham Hukum

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Bayu Hermawan
Menkumham Yasonna Laoly
Foto: Republika/ Wihdan
Menkumham Yasonna Laoly

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Energy Watch Ferdinan Hutanen menilai Menkumham Yasonna H Laoly telah menghancurkan paham hukum, dengan menyebut status warga negara Indonesia (WNI) Arcandra Tahar belum dicabut, meskipun telah memiliki paspor dan menjadi warga negara Amerika Serikat.

Menurutnya pernyataan Yasonna tersebut bertentangan dengan Pasal 23 huruf a UU Nomor 12 tahun 2006 dan Pasal 31 ayat (1) PP nomor 2 tahun 2007 yang menyatakan status WNI gugur secara otomatis jika seorang WNI menyatakan sumpah setia kepada bangsa asing.

"Penjelasan Yasonna sebagai Menkumham yang menyatakan bahwa meski Arcandra Tahar memiliki Paspor Amerika dan menjadi Warga Negara Amerika akan tetapi karena status WNI nya belum dicabut secara formal maka Archandra masih sebagai WNI," ujarnya.

"Penjelasan ini membubarkan hukum dari seorang menteri hukum. Yasonna Menteri Hukum yang menghancurkan paham hukum," ucapnya, Selasa (16/8).

Ferdinand menegaskan, pengangkatan Arcandra sebagai Menteri ESDM merupakan sebuah pelanggaran hukum yang secara sadar dan memiliki konsekuensi hukum yang tidak ringan. Salah satunya, produk hukum Kementerian ESDM di bawah kepemimpinan Arcandra akan cacat hukum.

"Resiko yang sesungguhnya terlalu mahal dan tidak sebanding dengan kehebatan Arcandra Tahar," katanya.

Ia melanjutkan, Yasonna seharusnya tidak boleh melindungi dengan berdalih bahwa status WNI Arcandra belum dicabut secara formal. Menurutnya, penjelasan Yasonna mengindikasikan pemerintah yang sibuk merancang ketidakjujuran demi membenarkan sebuah tindakan yang jelas menyalahi hukum di Indonesia. Sebagai Menkumham, Yasonna seharusnya menegakkan UU dengan menetapkan bahwa Arcandra telah kehilangan status WNI.

"Bukan malah menyiasati hukum agar tidak terjadi penegakan hukum," ucapnya.

Tanpa mencabut status WNI Arcandra, Ferdinand menilai pemerintah telah melakukan standar ganda dalam kasus kewarganegaraan. Ferdinand pun membandingkan skandal Arcandra dengan seorang siswi bernama Gloria yang batal dikukuhkan sebagai Pasukan Pengibar Bendera Pusaka di Istana dengan alasan memiliki dua kewarganegaraan.

Padahal, kata Ferdinand, Gloria yang belum genap berusia 18 tahun masih berhak menentukan pilihan kewarganegaraannya mengikuti sang Ibu yang WNI atau ayahnya yang disebut berkewarganegaraan Prancis.

"Sungguh sangat perlakuan standar ganda dari pemerintah yang tidak patut," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement