Rabu 03 Aug 2016 15:19 WIB

Pengamat: Aspek Politik Pengaruhi Jokowi dalam Rombak Kabinet

Beberapa menteri baru Kabinet Kerja II berfoto bersama usai pengumuman perombakan kabinet oleh Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (27/7).  (Republika/Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Beberapa menteri baru Kabinet Kerja II berfoto bersama usai pengumuman perombakan kabinet oleh Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (27/7). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi politik Universitas Brawijaya Malang, Fajar Shodiq Ramadlan berpendapat pergantian seorang menteri, bukan hanya menyangkut pencapaian kerjanya saja, melainkan juga berkaitan dengan dukungan politik.

"Seorang menteri diganti, bukan soal capaian kerja saja tetapi juga berkaitan dengan dukungan politik. Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pasti mempertimbangkan risiko dan untung rugi pergantian menteri, contohnya dampak secara politis dan teknis," ujar Fajar ketika mengomentari perombakan kabinet yang diumumkan baru-baru ini.

Dalam Kabinet Kerja, kini sudah terdapat wakil Partai Golkar yaitu Airlangga Hartarto dan Asman Abnur dari PAN.

Dampak secara politis tersebut menurut Fajar berkaitan dengan dukungan partai dan ormas. Sedangkan dampak teknis, yaitu capaian kerja, kelanjutan program, dan perlembagaan terkait program.

Fajar berpendapat ada beberapa hal yang harus diperhatikan, pertama perombakan kabinet (reshuffle) adalah hak prerogratif presiden. Kedua, setidaknya ada dua pertimbangan reshuffle, yakni pertimbangan politis dan prestasi kerja.

"Dalam sejarahnya, meski sistem presidensial digunakan di Indonesia, tidak ada satu pun presiden pascareformasi yang mengabaikan aspek politis dalam membentuk kabinet. Pada kabinet SBY-Budiono saja, setidaknya 60 persen kabinet diisi oleh menteri berlatar belakang partai. Untuk reshuffle kabinet Jokowi-JK kali ini, setidaknya 50 persen menteri berlatarbelakang dari partai politik," kata Fajar.

Baca juga,  Jokowi Ungkap Alasan Reshuffle Kabinet Kerja.

Hal itu dianggap wajar, mengingat sistem politik dan pemerintahan Indonesia memaksa presiden harus bernegosiasi dengan banyak partai agar "aman" selama menjabat. Meskipun, hal ini bisa dilihat sangat pragmatis.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement