REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengacara Michael Titus Igweh, Sitor Situmorang, mengatakan pihaknya akan menggugat Kejaksaan Agung karena telah memperlakukan kliennya dengan tidak adil.
"Kami akan menuntut pemerintah dalam hal ini Kejaksaan Agung, mungkin minggu depan kami siapkan tuntutannya. Kami ingin tahu reaksi mereka yang tidak memiliki rasa kemanusiaan," ujar Sitor kepada Antara di Rumah Duka Bandengan, Jakarta, Jumat (29/7).
Michael Titus, kata Sitor, tidak memperoleh hak-haknya sebagai narapidana dan tidak diperlakukan sebagaimana mestinya ketika dia sudah dihadapkan pada eksekusi mati. Dia mengungkapkan, Michael Titus sudah mengajukan pengajuan kembali (PK) kedua dan diterima oleh Pengadilan Negeri Tangerang sebelum Lebaran 2016 dan masuk ke Mahkamah Agung pada 11 Juli 2016.
Namun sebelum mendapat nomor PK-nya, tiba-tiba dinyatakan bahwa PK itu ditolak, dan kabar ini diketahui pengacara beserta keluarga dari media, bukan dari pemerintah. Pihak keluarga dan pengacara juga tidak diberitahu tentang rencana pemerintah untuk melakukan eksekusi mati terhadap Michael Titus.
"Kami diberitahu tiga hari sebelum pelaksanaan hukuman mati, ketika Michael sudah di ruang isolasi. Kami sudah melakukan protes ke Kejaksaan Agung, tetapi ini tidak dipertimbangkan untuk membatalkan eksekusi," kata Sitor.
Selain itu, dia menambahkan, warga Nigeria dengan empat anak tersebut juga belum mengajukan grasi yang merupakan haknya sebagai narapidana mati. Awalnya, pilihan grasi memang tidak diambil karena Michael Titus merasa dia tidak bersalah. Akan tetapi karena eksekusi mati dijalankan dengan tiba-tiba dan tidak diinformasikan segera, grasi tidak sempat diajukan.
Padahal hak itu sudah diatur dalam UU No 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XII/2015. Pengacara juga mengatakan ketika pertama kali ditangkap pada tahun 2002, tidak pernah ada barang bukti heroin yang didapat dari Michael. Karena tidak mengaku, Michael sempat disiksa oleh aparat kepolisian dengan disetrum pada kemaluan.
"Dia dipidana atas heroin yang dimiliki oleh Hillary K Chimezie, warga negara Nigeria. Padahal Hillary juga mengaku tidak pernah memberikan 5,8 kilogram heroin itu kepada Michael Titus," tutur Sitor.
Hukuman Hillary sendiri dikurangi dari pidana mati menjadi 12 tahun penjara oleh Mahkamah Agung, sementara Michael Titus tetap divonis mati. Ke depan, Sitor Situmorang juga mempertimbangkan akan membawa kasus hukuman mati ini ke Pengadilan Internasional. "Bisa sendiri, bisa pula bekerja sama dengan keluarga narapidana mati lainnya," ujar dia.
Adapun Michael Titus Igweh adalah salah satu dari empat terpidana mati yang dieksekusi hari Jumat (29/7) dini hari bersama Freddy Budiman (WNI), Seck Osmani (Senegal) dan Humprey Eijeke (Nigeria).