Rabu 27 Jul 2016 12:49 WIB

Bahas Penetapan Perppu Kebiri, PKS Abstain

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Achmad Syalaby
Hukuman kebiri (ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Hukuman kebiri (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VIII dari Fraksi PKS Iskan Qolba Lubis mengatakan, pihaknya memilih sikap tak menyatakan pendapat dalam pembahasan tingkat I terkait penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) tentang Perlindungan Anak atau Perppu Kebiri di Komisi VIII untuk dibawa ke Sidang Paripurna.

"Fraksi PKS memiliki alasan kuat terkait dengan prosedural maupun substansial atas sikap tersebut. Dari sisi prosedural, penerbitan Perppu ini masih masih perlu pembahasan matang," kata dia, Rabu (27/7).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Pengganti Undang-Undang Pasal 52 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa pengajuan Perppu dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang diajukan ke DPR pada masa sidang berikutnya. Sehingga Perppu Kebiri yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 25 Mei 2016 ini, seharusnya baru diajukan pada masa sidang VI, bukan pada masa sidang V pada periode saat ini.

"Kami melihat pemerintah terkesan buru-buru dan emosional hanya karena isu kekerasan seksual terhadap anak yang belakangan ramai diberitakan media. Sehingga hasilnya pun terlihat tidak komprehensif dan berkesinambungan dalam mencegah kekerasan terhadap anak," katanya.

Meski demikian Fraksi PKS pada dasarnya sangat mendukung adanya upaya perlindungan terhadap anak. Karena itu yang diperlukan saat ini adalah bagaimana melindungi anak-anak, bukan hanya berfokus pada bagaimana memperberat hukuman terhadap pelaku kekerasan terhadap anak.

"Seharusnya yang tidak kalah diperlukan  adalah bagaimana perlindungan terhadap anak dari kejahatan seksual, kemudian bagaimana peran keluarga, masyarakat, dan ulama dalam pencegahan kekerasan terhadap anak. Jangan hanya berfokus pada bagaimana memperberat hukuman kepada para pelaku kejahatan terhadap anak," kata Iskan. 

Untuk menekan angka kekerasan terhadap anak khusunya kekerasan seksual, kata dia, bukan semata-mata dengan menaikkan ancaman hukuman tetapi juga memperhatikan penegakan hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual. Selain itu pemerintah juga diminta memperhatikan faktor pemicu terjadinya kekerasan terhadap anak antara lain peredaran minuman keras dan pornografi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement