Rabu 27 Jul 2016 09:55 WIB

Ini Sosok Muhadjir Effendy yang akan Gantikan Anies Baswedan

Pakar pendidikan sekaligus pakar militer Muhadjir Effendy.
Foto:
Prof Dr Muhadjir Effendy

Semasa menjabat Pembantu Rektor III yang membidangi urusan kemahasiswaan, misalnya, Muhadjir mengeluarkan kebijakan yang cukup kontroversial. Menurut Muhadjir, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang selama ini mendapatkan privilige di PTM-PTM harus diberikan suasana baru. Suasana baru yang dimaksudkan oleh Muhadjir adalah iklim persaingan terbuka antara IMM dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan lainnya yang lazim disebut Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (OMEK).

Dengan tidak 'mengekang' IMM dalam suasana privilage, diharapkan IMM akan mampu membuka diri terhadap aneka persaingan di berbagai cuaca dan suasana, sehingga aktivis-aktivis IMM menjadi matang ketika berhadapan dengan dunia nyata. Namun, memang menjadi hakikat dari setiap keputusan, pemikiran dan tindakan. Bahwa tak mungkin semua pihak akan menyukai, menyetujui dan lalu mendukung sebuah keputusan atau tindakan. Demikian pulalah kondisinya.

Keputusan Muhadjir menuai protes, kecurigaan dan reaksi. Namun, Muhadjir Effendy adalah seorang yang sangat teguh dalam pendirian dan keyakinan. Maka, tanpa bermaksud mengabaikan kritik dan protes yang berkembang, Muhadjir tetap menjalankan kebijakan itu. Bahkan hingga hari ini, protes dan keberatan terhadap kebijakan itu masih terus terdengar.

Contoh lainnya adalah berkaitan dengan sikap UMM yang tak mewajibkan mahasiswi berjilbab. Memang benar, keputusan ini tidak lahir pada saat Muhadjir Effendy menjabat rektor UMM, melainkan telah ada pada masa-masa sebelumnya, khususnya masa kepemimpinan Profesor Malik Fadjar. Namun Muhadjir tetap mengawal keputusan ini, meskipun itu bermakna menggadaikan diri dalam resiko menjadi sasaran protes oleh berbagai pihak, tak terkecuali dari kalangan internal Muhammadiyah sendiri.

Inti semua protes itu adalah bagaimana mungkin kampus Islam seperti UMM tidak menerapkan pewajiban berjilbab kepada mahasiswinya? Menghadapi kritik, protes, dan bahkan kecaman tentang hal ini, Muhadjir punya formulasi yang tak disangka-sangka. Ia menjawabnya dengan ringan dan canda, tanpa beban. “Mahasiswa UMM itu jumlahnya di atas dua puluh ribu. Pasti sangat sulit untuk mewajibkan semuanya berjilbab. Seandainya saja mahasiswa UMM itu hanya lima ratus orang, semua akan saya wajibkan berjilbab. Bahkan laki-lakipun saya wajibkan,” demikian Muhadjir ketika menanggapi kritik itu dengan canda.

Masih dalam kaitan identitas UMM sebagai kampus Islami, pemikiran kontroversial Muhadjir juga terekam dalam peristiwa berikut ini. Pada suatu ketika, di Dome UMM hendak digelar 'Konser Musik Punk'. Tak pelak, acara ini juga menuai banyak kritik dari internal UMM sendiri.

Menyadari potensi kontroversi ini, pihak pengelola yang diwakili oleh Suyatno (Dosen Jurusan Peternakan UMM), meminta izin dan pertimbangan kepada Muhadjir sebagai rektor. Di luar dugaan, Muhadjir memberikan izin. Inti dari semua suara miring itu adalah: “Bagaimana mungkin UMM sebagai kampus Islami kok membiarkan acara musik Punk yang jelas-jelas dihadiri banyak anak jalanan. Bukankah anak-anak ini tidak karuan identitas dan orientasinya?”

Atas hal ini, dengan candaannya yang khas, Muhadjir menjawab: “Kita itu justru sudah melakukan dakwah dengan sasaran yang tepat.  Kalau dakwah ditujukan kepada orang-orang yang sudah baik, ya sia-sia jadinya. Dengan adanya anak-anak Punk datang ke UMM ini, itu sangat bagus. Minimal mereka tahu Masjid AR Fachruddin dan mendengar azan.

Itu sudah dakwah yang benar-benar dakwah dengan sasaran yang tepat…” Meski terdengar seperti canda, jawaban itu sebenarnya mengandung sebuah terapi pemikiran bagi mereka yang selama ini terlanjur berfikiran sempit dalam memaknai dakwah Muhammadiyah. Dakwah pada komunitas seperti inilah yang oleh Muhadjir sering disebut sebagai “Dakwah di Lahan Becek”.

Kontroversi tak berhenti di situ. Dalam bidang manajemen perguruan tinggi, Muhadjir juga menelurkan gagasan-gagasan yang tak kalah unik. Barangkali terinspirasi oleh model kepemimpinan di Muhammadiyah, Muhadjir memperkenalkan model manajemen collective collegial selama memimpin UMM. Pada prinsipnya, model manajemen ini menggariskan bahwa semua keputusan dan kebijakan kampus merupakan keputusan bersama antara rektor dan pembantu rektor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement