REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Riau mencurigai penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Kapolda Riau terhadap 15 perusahaan terduga pelaku pembakar hukan dan lahan di derah tersebut.
"(Kecurigan) pertama disebutkan bukti tak cukup," kata Direktur Walhi Riau, Riko Kurniawan saat dihubungi Republika.co.id.
Padahal, ia menjelaskan, bila berbicara proses penegakan hukum ihwal karhutla, hampir tiga tahun belakangan menunjukkan tren yang membaik. Di bawah kepemimpinan Kapolda Riau Condro Kirono, Riko berujar, kasus-kasus karhutla dapat sampai ke meja hijau.
Kendati, muncul persoalan di persidangan ihwal tuntutan ringan dari jaksa maupun putusan bebas oleh hakim. Menurut Riko, saat itu, Polda Riau merupakan salah satu institusi kepolisian di daerah yang mampu membawa kasus-kasus ke meja hijau.
"Artinya kecakapan mereka dan kemampuan dalam menemukan alat bukti cakap sekali, sehingga tak bisa P16 (pengembalian berkas perkara dari kejaksaan untuk dilengkapi kepolisian)," tutur dia.
Riko menyebut, delapan dari 15 perusahaan yang menerima SP3, merupakan tersangka pada 2013, 2014 dan 2015. Pun ia meyakini pada 2016, delapan perusahaan tersebut juga bakal menjadi tersangka.
"Artinya memang kecurigaan kita, kenapa kasus besar yang menyebabkan delapan perusahaan berturut-turut jadi tersangaka tak pernah diperiksa dan dibawa ke meja pengadilan," ujar dia.
Riko mencontohkan PT RUJ, satu dari 15 perusahaan yang mendapat SP3. Ia merinci, PT RUJ merupakan tersangka atas kasus penebangan liar pada 2007 dan 2009. Perusaan itu juga mendapat SP3 pada 2013, 2014 dan 2015 kendati dinyatakan sebagai tersangka oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Polda Riau.
"Ini yang kita lihat perusahaan SP3 itu bukan pemain baru, mereka pemain lama. Makanya agak ganjal pernyataan humas, sulit menetapkan mereka tersangka," tutur Riko.