REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyayangkan respons pemerintah dan manajemen RS Harapan Bunda yang menganggap ringan penanganan masalah vaksin palsu.
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu mengingatkan, kasus vaksin palsu merupakan kejahatan yang melanggar hak warga negara Indonesia yang dijamin oleh konstitusi.
"Kejahatan ini merendahkan kesehatan anak-anak dan mengancam kesehatan mereka di masa depan," ujar Wakil Koordinator Kontras, Puri Kencana Putri, di Jakarta, Rabu (20/7).
Ia menuturkan, jaminan hak atas atas kesehatan bagi warga negara Indonesia tercantum dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945. Selain itu, hak tersebut juga terdapat dalam Pasal 12 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR).
Indonesia termasuk salah satu negara yang ikut meratifikasi perjanjian antarnegara dunia itu. Sebagai konsekuensinya, kata Puri, Pemerintah RI dituntut untuk memberikan jaminan atas perkembangan anak yang sehat.
"Dalam kasus vaksin palsu di RS Harapan Bunda, persoalan tidak bisa selesai hanya pada vaksinasi ulang kepada para korban. Tetapi bagaimana pemerintah bisa menjamin anak-anak itu terbebas dari dampak buruk yang mungkin ditimbulkan oleh vaksin palsu di masa mendatang," ucap Puri.
Menurut dia, respons negara sejauh ini cenderung hanya menyederhanakan masalah yang ada, yaitu sekadar mengganti vaksin palsu dengan vaksinasi ulang kepada para korban. Padahal, kata Puri, kejahatan dalam kasus vaksin palsu ini mengancam masa depan anak-anak yang sedang mengalami pertumbuhan, sehingga membutuhkan penanganan yang serius dan berkelanjutan.
"Ironisnya, cara berpikir yang menyederhanakan masalah seperti itu justru diamini sendiri oleh Presiden Joko Widodo," kecam Puri.
Maka itu, ia mendesak presiden memberikan perhatian serius dengan menginstruksikan Kepala Kepolisian RI Tito Karnavian untuk membongkar kasus kejahatan yang sudah berlangsung selama belasan tahun tersebut hingga ke akar-akarnya.