Selasa 19 Jul 2016 06:15 WIB

Impor Pekerja Cina, Komunisme, dan Ancaman Kerapuhan Sosial

Red: M Akbar
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) menerima kunjungan delegasi Menteri Departemen Internasional Komite Sentral Partai Komunis China Xong Tao (kiri) di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (13/4).
Foto:

Berikutnya, komunis Cina melakukan cuci otak kepada seluruh warga. Masyarakat manggut-manggut terhadap informasi yang dikeluarkan pemerintah, padahal sudah tahu informasi itu dusta dan memutar balik fakta. Namun, semua tetap bungkam. Tirani kepempinan Mao berlangsung sekitar 55 tahun.

Untuk memuluskan kekuasaan dan keinginannya, komunis Cina tidak ragu menggunakan kekerasan, pembunuhan sampai kerusakan ekosistem. Banyak literasi mengisahkan kekejaman dan kebiadaban komunis Cina/Tiongkok. Di antaranya, dari kutipan tulisan "9 Komentar Mengenai Partai Komunis". Kita lihat lagi: tahun 1976 Mao Ze Dong menulis surat untuk istrinya, Jiang Qing.

''Dalam perjuangan 10 tahun terakhir mencapai puncak revolusi, aku tak behasil. Mungkin kamu berhasil, tapi jika gagal, kamu akan mencapai ngarai yang tak terukur dalamnya.'' Itu dokumen surat yang diungkap Dr Roxane Witke.

Dulu, rakyat Cina menuhankan Mao. Sampai kini pengikut atau penggemarnya masih mengelukannya, bahkan mereka yang di luar Cina. Padahal, Mao sendiri bilang, jika akhirnya ia tak bisa berhasil mencapai puncak tertinggi. Sejarah selalu bergulir: kekuasaan tidak ada yang abadi.

Belasan tahun sebelum menulis surat ke istrinya, sekitar awal Agustus era 1960-an, Deng Xiaoping, sekjen Partai Komunis Cina, diseret Pengawal Merah. Ia diinterogasi, diadili. Jutaan pemuda Cina berkumpul di lapangan Tiananmen. Dari buku saku merah, mereka meneriakkan yel-yel dari petuah Mao.

Gelombang massa bersejarah itu tak hanya menyeret Deng Xiaoping, melainkan Presiden Liu Shaoqi beserta istri. Aksi massa yang digerakkan Mao dan istrinya telah membuahkan pertikaian berdarah. Poltik berdarah itu mencetuskan perang saudara. Padahal, kekuasaan tidak ada yang abadi. Lucunya, toh meski Deng Xiaoping difitnah berkali-kali, ia malah melejit sendiri.

Sebaliknya, Mao menyaksikan kerusakan yang terjadi dari gelombang massa pemuda yang diciptakannya sendiri. Ia kesal pada Pengawal Merah yang mengecewakannya. Di antara Pengawal Merah ada sosok bernama Wu Ch’uan Pi’n. Pemuda itu melejit pesat naik bintang, menghantam tokoh-tokoh partai borjuis, meski akhirnya ia dilenyapkan. Toh, pada ujungnya Mao tak abadi. Mengakui kegagalannya dalam mencapai revolusi tertinggi. Toh, Mao pun akhirnya mati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement