Selasa 19 Jan 2021 16:55 WIB

Kritik Tegas untuk Perpres RAN PE

Implementasi Perpres RAN PE berpotensi timbulkan konflik sosial di masyarakat.

Pasukan Brimob Mabes Polri melakukan penyergapan saat simulasi penanganan ancaman bom dan serangan terorisme di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Lebak Bulus, Jakarta, Rabu (16/12/2020). Perpres nomor 7 Nomor 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) perlu didefinisikan dengan matang hindari bias makna di publik.
Foto: ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA
Pasukan Brimob Mabes Polri melakukan penyergapan saat simulasi penanganan ancaman bom dan serangan terorisme di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Lebak Bulus, Jakarta, Rabu (16/12/2020). Perpres nomor 7 Nomor 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) perlu didefinisikan dengan matang hindari bias makna di publik.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Ronggo Astungkoro

Peraturan Presiden (Perpres) nomor 7 Nomor 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) menuai kontra. Pemerintah pun diminta memperjelas makna ekstremisme dalam aturan tersebut.

Baca Juga

Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA), Fadhli Harahab, mengatakan salah satu klausul Perpres menyebut pemerintah akan melatih masyarakat soal pelaporan terhadap dugaan adanya ekstremisme yang mengarah pada aksi terorisme (Polmas). Ia mengingatkan dampak negatif yang bisa saja muncul dari rencana tersebut.

"Bahaya kalau pemerintah tidak bisa mendefinisikan dan menjelaskan kepada masyarakat. Bias pemaknaan itu bisa saja menimbulkan paham yang menyudutkan golongan tertentu. Bisa jadi orang yang kritis terhadap pemerintah dilaporakan dengan tuduhan tersebut," kata Fadhli dalam keterangan resmi yang diterima Republika pada Selasa (19/1).

Menurutnya, pemerintah harus bisa menjelaskan pemaknaan ekstremisme secara gamblang. Tujuannya agar tidak menimbulkan bias makna bagi masyarakat.

"Apalagi kalau menyangkut identitas tertentu. Misalnya, ada orang bercelana cingkrang, jarang bergaul, kritis pula terhadap pemerintah. Padahal tidak demikian (ekstremis)," ujar Fadhli.

Fadhli justru menyinggung kehadiran ekstrem kiri. Mereka menebar kekerasan verbal terhadap kelompok tertentu yang berpotensi pada aksi terorisme.

"Vandalisme rumah ibadah atau bullying umat beragama, itu juga ekstremisme yang bisa juga berdampak pada aksi terorisme," ucap Fadhli.

Fadhli meragukan mekanisme pelaporan dari masyarakat bakal berjalan efektif. Ia menilai pengetahuan masyarakat soal wawasan intelejen terbilang minim hingga bisa mengakibatkan kesalahan fatal dalam pelaporan. "Saya pikir kalau itu terjadi, bukan tidak mungkin justru akan mengakibatkan konflik sosial baru," ungkap Fadhli.

Partisipasi masyarakat juga menjadi perhatian peneliti Institute for Scurity and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi. Dia khawatir hal tersebut dapat meningkatkan potensi konflik horizontal di tengah masyarakat.

"Jika rambu-rambunya tak disiapkan dan disosialisasikan dengan baik, ada kekhawatiran hal ini akan meningkatkan potensi konflik horizontal dan pelanggaran hak asasi manusia," kata Fahmi kepada Republika.

Dia menerangkan, potensi konflik horizontal pelanggaran hak asasi manusia itu dapat terjadi melalui sejumlah hal. Hal tersebut, di antaranya praktik-praktik intoleransi baru, persekusi, bahkan kekerasan berbasis penistaan atau istilahnya blasphemy based violence di tengah masyarakat.

"Apalagi dengan telah diakomodirnya berbagai bentuk sistem pengamanan lingkungan swakarsa," kata dia. Dalam Perpres tentang RAN PE, salah satu rencana aksinya adalah membangun sebuah sistem deteksi dini dan respons cepat masyarakat dalam hal keamanan lingkungan.

"Sayangnya, yang menonjol adalah soal pemolisian masyarakat dan bagaimana mendorong masyarakat agar mau dan sigap melapor jika di wilayahnya terdapat situasi dan kondisi yang mengarah pada ekstremisme berbasis kekerasan," kata dia.

Perpres juga dinilai mencampuradukkan ekstremisme dengan radikalisme. Sebab sejumlah agenda dalam aturan tentang RAN PE mengarah pada terorisme menggunakan diksi terkait radikalisme.

"Perpres tersebut membeberkan sejumlah rencana aksi. Namun jika dilihat, ada sejumlah agenda, terutama yang digelar oleh BNPT, menggunakan diksi yang terkait dengan radikalisme yaitu kontraradikalisasi dan deradikalisasi," sambung Fahmi.

Meski sama-sama bisa menghadirkan berbagai bentuk kekerasan, ekstremisme dan radikalisme adalah dua hal yang sangat berbeda. Semestinya, kata dia, dua hal itu tidak dicampuradukkan satu sama lain. Dengan pencampuradukkan tersebut, maka berpotensi mengakibatkan tidak tercapainya itikad baik dan tujuan dari hadirnya Perpres itu.

Kondisi campur aduk tersebut ia nilai menjadi salah satu kelemahan Perpres tersebut. Hal tersebut ia katakan mnunjukkan belum tercapainya kesepahaman di antara para pemangku penanggulangan terorisme. Padahal istilah ekstremisme yang baru yang diperkenalkan pada publik dalam ranah pemberantasan terorisme ini cukup patut diapresiasi. "Bahkan ada yang masih ngotot merujuk pada diksi radikalisme yang oleh banyak ahli disebut tak punya cukup pijakan ilmiah," kata dua.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement