REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengecam aksi kekerasan terhadap sejumlah dokter di rumah-rumah sakit yang terkait kasus vaksin palsu. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI, Prof Ilham Oetama Marsis, kejadian kekerasan itu telah terjadi di Rumah Sakit Harapan Bunda Jakarta Timur pada Jumat (15/7) lalu, RSIA Mutiara Bunda Ciledug pada Sabtu (16/7), dan RS Santa Elisabeth Bekasi juga pada Sabtu (16/7).
Marsis menunjukkan bukti-bukti foto sejumlah dokter yang dipaksa menandatangani surat pernyataan setelah dihakimi sejumlah massa. Dia bahkan mengaku ragu, oknum yang melakukan aksi kekerasan benar-benar merupakan orang tua korban vaksin palsu.
Hal itu, lanjut dia, menimbulkan keresahan di kalangan dokter, perawat, dan rumah sakit yang tak terlibat dalam kasus vaksin palsu.
Dalam kesempatan itu, Sekjen PB IDI Adib Khumaidi membacakan pernyataan sikap resmi IDI terkait kasus tersebut. Tak hanya IDI, hadir pula pihak Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
“Dokter, tenaga kesehatan lain, atau fasilitas pelayanan kesehatan adalah korban dari oknum pemalsu vaksin dan (IDI) meminta kepada pemerintah untuk tidak membiarkan dokter, tenaga kesehatan lain, atau fasilitas pelayanan kesehatan untuk menghadapi keluhan masyarakat tanpa adanya jalan keluar atau solusi,” ucap Adib Khumaidi dalam jumpa pers di kantor pusat PB IDI, Jakarta, Senin (18/7).
Selain itu, IDI juga mendesak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk bertanggung jawab sepenuhnya. Adib menyebutkan, IDI mengusulkan pembentukan posko pengumuman dan pengaduan dampak vaksin palsu di dinas-dinas kesehatan setempat, bukan rumah sakit.
“Meminta kepada Polri untuk memberikan jaminan keamanan bagi tenaga dan fasilitas kesehatan agar pelayanan kepada masyarakat tetap berjalan seperti biasa,” tutur dia.