REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang lanjutan gugatan proyek reklamasi Pulau F, I, dan K kembali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Rabu (29/6). Dalam sidang kali ini, para penggugat yang terdiri dari komunitas nelayan tradisional di Teluk Jakarta mengajukan bukti yang menunjukkan adanya potensi kerugian negara yang mencapai ratusan triliun rupiah akibat proyek tersebut.
"Kerugian tersebut dapat jadi lebih parah lagi jika terjadi gangguan terhadap empat pembangkit listrik yang ada di sepanjang Teluk Jakarta," ujar Ketua Bidang Pengembangan Hukum DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Marthin Hadiwinata, lewat pesan yang diterima Republika.co.id, Rabu (29/6).
Ia menuturkan, penghitungan kerugian potensial tersebut dilihat dari empat komponen utama, yaitu berkurangnya wilayah kegiatan perikanan, meningkatnya potensi risiko banjir, hilangnya habitat mangrove, dan menurunnya kapasitas pembangkit listrik.
Menurut dia, berkurangnya wilayah kegiatan perikanan diperkirakan bakal menghilangkan fishing ground alias area tangkapan ikan seluas 586,3 hektare. Akibatnya, kondisi itu juga berdampak pada hilangnya sumber penghidupan dan upah perikanan yang mencapai 1,3 miliar dolar AS per tahun. "Jika patokan konversi kurs satu dolar AS saat ini sama dengan Rp 13 ribu, maka kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp 16,9 triliun tiap tahun," ucapnya.
Selanjutnya, kata Marthin, meningkatnya potensi risiko banjir juga bakal menambah kerugian materiil yang diperkirakan mencapai 9,7 miliar dolar AS atau Rp 126,1 triliun per tahun. Hilangnya habitat mangrove yang kemudian menghilangkan jasa-jasa ekosistem mangrove yang penting, diperkiraan menyebabkan kerugian mencapai 2,7 miliar dolar AS atau Rp 35,1 triliun. Terakhir, menurunnya kapasitas pembangkit listrik dipredikisi akan menimbulkan kerugian 26,78 miliar dolar AS atau Rp 348,1 triliun.
"Jika kegiatan pelayanan kelistrikan bagi Muara Karang dan Muara Tawar yang terganggu, itu bakal menghambat pelayanan hingga 53 persen kebutuhan listrik di Jakarta. Apabila diakumulasikan setiap tahunnya, maka kerugian akibat reklamasi sangat besar," kata Marthin.
Ia menjelaskan, penilaian kerugian tersebut diperoleh timnya dari dokumen "Jakarta Bay Recommendation Paper" yang diterbitkan pada Oktober 2012. Dokumen tersebut ditulis oleh Danish Hidraulic Institute (DHI) Water & Environment, sebuah lembaga konsultan teknik asal Denmark yang telah berpengalaman melakukan jasa konsultasi terkait pengelolaan pesisir dan laut.
DHI Water & Environmen melakukan penilaian tersebut untuk membantu Kementerian Lingkungan Hidup dalam melakukan penilaian terhadap Teluk Jakarta. "Namun sangat disayangkan, penilaian komprehensif yang dilakukan oleh DHI tersebut tidak pernah menjadi pertimbangan untuk menghentikan proyek reklamasi Jakarta," kata Marthin lagi.
Ia mengatakan, para penggugat mengajukan dokumen tersebut sebagai bukti di pengadilan karena mampu mengungkap penilaian secara komprehensif terhadap proyek reklamasi 17 pulau yang sedang dipaksakan berjalan di Teluk Jakarta. "Atas dasar perhitungan itulah, sudah seharusnya SK reklamasi yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta dibatalkan oleh PTUN, karena membawa kerugian amat besar."