REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami dugaan keterlibatan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik dalam kasus dugaan suap pembahasan raperda reklamasi Teluk Jakarta.
M Taufik yang juga menjabat ketua Badan Legislasi Daerah (Balegda) itu disebut-sebut terlibat aktif dalam pembahasan raperda reklamasi yang berujung suap kepada Ketua Komisi D DPRD DKI, Mohammad Sanusi.
Hal tersebut sebagaimana terungkap dalam fakta sidang dakwaan Presiden Direktur Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja selaku pemberi suap kepada Sanusi.
"Kami masih mendalami keterlibatan yang bersangkutan," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati, di gedung KPK, Jakarta, Senin (27/6).
Menurut dia, jika memang ditemukan fakta terkait keterlibatan Taufik dalam kasus suap yang sudah menjerat adiknya, M Sanusi, itu tidak menutup kemungkinan bakal kembali memeriksanya. Apalagi kata Yuyuk, yang bersangkutan juga diketahui telah beberapa kali diperiksa penyidik KPK.
"Kalau M Taufik sudah beberapa kali dipanggil, kalau memang ditemukan fakta lebih lanjut akan dipanggil, tapi belum tahu kapan," ujarnya.
Adapun nama Taufik disebut dalam surat dakwaan Ariesman, di mana ia disebut hadir dalam pertemuan pengusaha pengembang reklamasi yang difasilitasi oleh Bos Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan pada pertengahan Desember 2015 lalu di Taman Golf Timur II, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.
Anggota dewan yang hadir selain Taufik antara lain Mohamad Sanusi selaku anggota Balega DPRD DKI, Prasetyo Edy Marsudi selaku ketua DPRD DKI, Mohamad Sangaji selaku anggota Balegda DPRD DKI dan Selamat Nurdin selaku ketua Fraksi PKS DPRD DKI.
Selain pertemuan, Taufik juga disebut-sebut berupaya membantu adiknya, Sanusi dalam mengubah pasal tambahan kontribusi yang tertuang dalam draf Rancangan Perda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP) sebagaimana permintaan Ariesman.
Lalu dalam pembahasan bersama Raperda RTRKSP antara Pemprov DKI dan Balegda DPRD DKI pada 15 Februari 2016, Taufik pun ikut.
Dalam forum yang dihadiri Bestari Barus, Yuliadi, Tuty Kusumawati, dan Saefullah, Sanusi meminta agar tambahan kontribusi sebesar 15 persen dari nilai NJOP tidak dicantumkan dalam raperda karena dinilai dapat memberatkan para pengembang reklamasi.
Selang sehari pembahasan berikutnya, beberapa anggota Balegda DPRD DKI tetap menghendaki tambahan kontribusi sebesar 15 persen dari nilai NJOP total lahan yang dapat dijual dihilangkan dari Raperda RTRKSP dan mengusulkan supaya diatur dalam pergub.
Dalam dakwaan Ariesman juga disebut, Sanusi sempat menghubungi kakaknya, Taufik, lewat telepon dan melaporkan keberatan Ariesman soal tambahan kontribusi 15 persen itu. Sanusi kemudian mengubah rumusan penjelasan Pasal 110 ayat 5 yang semula "cukup jelas" menjadi "tambahan kontribusi adalah kontribusi yang dapat diambil di awal dengan mengkonversi dari kontribusi (yang 5 persen), yang akan diatur dengan perjanjian kerja sama antara Gubernur dan pengembang".
Sanusi kemudian menyerahkan memo berisi tulisan penjelasan pasal tersebut kepada Heru Wiyanto selaku kepala Bagian Perundang-undangan Setwan DPRD DKI Jakarta. Tulisan tersebut kemudian dimasukkan dalam tabel masukan raperda, dan diserahkan kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Namun, Ahok yang membaca tabel masukan tersebut menyatakan menolak dan menuliskan disposisi kepada Taufik dengan catatan yang bertuliskan, "Gila, kalau seperti ini bisa pidana korupsi."
Taufik kemudian meminta Kepala Subbagian Raperda Setwan Provinsi DKI Jakarta untuk mengubah penjelasan terkait tambahan kontribusi yang semula tercantum dalam Pasal 110 ayat 5 huruf c berbunyi "cukup jelas", menjadi ketentuan Pasal 111 ayat 5 huruf c dengan penjelasan "yang dimaksud dengan kewajiban tambahan kontribusi adalah kewajiban yang disepakati dalam perjanjian kerja sama antara Pemda dan pemegang izin reklamasi dalam rangka penataan kembali daratan Jakarta, terkait dengan pelaksanaan konversi kewajiban konstruksi".
Diketahui, dalam kasus ini baru Ariesman dan anak buahnya, Trinanda Prihantoro, yang telah masuk ke persidangan.