Rabu 22 Jun 2016 17:25 WIB

KPK Diminta Tuntaskan Kasus Reklamasi dan Sumber Waras

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Ilham
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok meninggalkan gedung Bareskrim Mabes Polri usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Selasa (21/6).
Foto: Antara/ Akbar Nugroho Gumay
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok meninggalkan gedung Bareskrim Mabes Polri usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Selasa (21/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Adhie M Massardi mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus berhenti bersilat lidah di ranah publik. KPK diminta segera melangkah untuk menuntaskan dua skandal korupsi besar, yakni pembelian lahan RS Sumber Waras dan reklamasi Teluk Jakarta.

"Dua skandal korupsi besar itu diduga melibatkan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Kalau pimpinan KPK memahami logika korupsi dan tidak bermain api (politik), maka dua skandal korupsi yang terindikasi melibatkan Ahok dengan mudah diproses dan dibawa ke Pengadilan Tipikor," katanya, Rabu, (22/6).

Ada tiga unsur penting dalam tipikor, yaitu memperkaya diri sendiri, menguntungkan orang lain, dan menyalahgunakan jabatan atau kewenangan. Menurut Edhie, fakta yang ada di KPK dalam kasus korupsi reklamasi Teluk Jakarta sudah sempurna memenuhi ketiga unsur korupsi di atas.

"Ada penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara pemerintahan provinsi DKI. Ada pihak lain yakni pengembang yang diuntungkan. Ada suap untuk memperkaya diri salah satu anggota DPRD DKI M Sanusi yang tertangkap KPK dalam OTT," ujarnya.

Gubernur DKI mungkin tak langsung menerima uang sebagai imbalan atas kebijakan yang diberikan kepada pengembang. Tapi imbalan atau suap bisa dalam bentuk lain, misalnya temuan adanya aliran dana puluhan miliar rupiah untuk tim sukses Teman Ahok. Itu sudah cukup sebagai indikasi keterlibatannya.

"Apalagi kalau nanti juga terbukti ada aliran dana dari para pengembang Teluk Jakarta ke parpol-parpol yang tiba-tiba mendukung pencalonan Ahok sebagai kandidat gubernur DKI pada pilgub 2017," kata Adhie.

Sedangkan dalam skandal pembelian lahan RS Sumber Waras oleh pemprov DKI, persoalannya lebih sederhana lagi. Ahok menggunakan uang negara lebih dari Rp 750 miliar untuk membeli tanah yang seharusnya guna kepentingan negara, tapi bukan kepada pemilik yang sebenarnya (Yayasan Tjandra Naya).

"Karena terdapat kejanggalan secara kasat mata itulah KPK meminta kepada BPK untuk melakukan audit investigasi. Persis seperti proses bailout Bank Century, BPK juga mengkonfirmasi kecurigaan KPK dengan beberapa temuan penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang yang buntut-buntutnya merugikan keuangan negara dan memperkaya orang lain."

KPK versi Agus Rahardjo, terang Adhie, tampak konyol bila kemudian malah membantah dan menyalahkan temuan BPK. Apalagi kemudian membawa hal ini ke ranah publik sebagai polemik dan perdebatan.

"Kalau demikian, lalu apa dasar KPK ketika meminta BPK lakukan audit investigas? Ini konyol. Kalau kita biarkan, bisa menjadi seperti skandal besar rekayasa bailout Bank Century yang kasusnya kini dikubur di KPK," kata Adhie.

Ia meminta KPK tidak main-main dalam dua kasus ini. Harus segera diproses, sebelum Ibu Kota betul-betul menjadi kawasan politik yang panas dengan digelarnya pilgub 2017.

"Jangan sampai KPK digunakan untuk menyandera Ahok sehingga jika kelak terpilih kembali menjadi Gubernur DKI bisa dikendalikan sehingga mudah memberikan berbagai perizinan kepada si penyandera. Ini yang terjadi pada periode kedua pemerintahan SBY terkait skandal bailout Bank Century."

Menurut dia, Agus Rahardjo Cs di KPK harus menyadari bahwa penyanderaan pemimpin dengan kasus-kasusnya sesungguhnya adalah penyanderaan atas seluruh rakyat Indonesia. Sebab yang dijadikan pertaruhan adalah harta, masa depan, harkat dan martabat bangsa Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement