Selasa 14 Jun 2016 12:45 WIB

Rencana Kenaikan Cukai Tembakau Dinilai Berlebihan

 Petani tembakau sedang menanam bibit tembakau, sebagian besar warga temanggung berprofesi sebagai petani Tembakau. Petani Tembakau
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Petani tembakau sedang menanam bibit tembakau, sebagian besar warga temanggung berprofesi sebagai petani Tembakau. Petani Tembakau

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sikap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan yang mengedepankan pandangan Kementerian Kesehatan terkait rencana kenaikan cukai pada industri hasil tembakau (IHT) dinilai Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo berlebihan.

Sebab menurut dia, cukai IHT tidak bisa semata mengedepankan perspektif kesehatan. Justru seharusnya pandangan industri yang harus jadi acuan utama karena merupakan subjek pajak dan cukai yang akan ditarik pemerintah.

Yustinus menilai, kontribusi IHT dari sebatang rokok sudah sangat besar,meliputi 57 persen cukai, 10 persen PPN, dan 10 persen Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau PDRD, sehingga total kontribusi cukai dan pajak rokok mencapai 77 persen.

"Kalau paradigma kesehatan dikedepankan, kemudian membatasi konsumsi, ketika pengawasan buruk maka justru akan memperbanyak rokok ilegal," kata Yustinus, saat dihubungi wartawan, Senin (13/6).

Belum lagi, kata dia, ketika pemerintah tidak bisa menyiapkan konversi tenaga kerja dari IHT yang besar ke industri lain. "Ini juga bermasalah," ucap dia.

Yustinus juga mempertanyakan penggunaan dana  yang didapat dari pajak rokok untuk alokasi kesehatanyang tidak akuntabel. "Apakah selama ini penerimaan sudah dialokasikan dengan baik? Dan tidak akuntabel juga," kata dia.

Ia menilai, jangan sampai pemerintah berparadigma membebani industri tembakau dengan tarif cukai tinggi tapi tanpa bisa mengelola dana-dana pajak dan cukai tembakau. Sehingga justru tidak bermanfaat sama sekali.

Menurut dia, roadmap pemerintah di sektor kesehatan dan penerimaan negara juga cenderung tidak jelas sehingga yang terjadi industri tembakau lagi-lagi menjadi korban. Harus ada kebijakan komprehensif yang beriringan, melindungi IHT, tenaga kerja, sekaligus mengamankan penerimaan negara dari cukai.

"Sekarang ini selalu tarik menarik antar kementerian sehingga industri menjadi korban, dan ujungnya masyarakat juga yang jadi korban," ucap dia.

Pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng, menilai DJBC tidak perlu menunggu sikap Kemenkes soal cukai. Sebaiknya, Presiden meminta Kemenkes fokus mengurus masalah-masalah kesehatan masyarakat terutama berkaitan dengan akses kesehatan yang timpang tak adil.

Daeng mencontohkan, sikap Kemenkes terkait RUU  Tembakau sangat aneh karena beleid itu soal agrikultur, perlindungan tanaman, dan tidak berkaitan dengan urusan kesehatan. “Agak kacau juga sikap Kemenkes. Tumpang tindih, terkesan menterinya tidak paham," kata dia menegaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement