Ahad 29 May 2016 14:49 WIB

Kartono Muhammad: Iklan Rokok Harus Dilarang

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Achmad Syalaby
Pelajar SMPN 104 Jakarta menurunkan iklan rokok di warung-warung di dekat sekolah, Jakarta Selatan, Kamis (5/11). (Republika/Yasin Habibi)
Pelajar SMPN 104 Jakarta menurunkan iklan rokok di warung-warung di dekat sekolah, Jakarta Selatan, Kamis (5/11). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Tobacco Control Support Center (TCSC) Kartono Mohamad mengakui besarnya pengaruh iklan termasuk  rokok terhadap masyarakat. Cara menampilkan iklan membuat para pembeli tertarik untuk mengonsumsi rokok.

“Semua iklan pasti menarik bagi para pembeli, sebab mereka tentu akan memberikan tampilan sebaik mungkin agar para pembelinya tertarik,” ujar Kartono kepada Republika.co.id, Ahad (29/5). Atas kondisi demikian, Kartono menegaskan, Indonesia jelas harus melarang iklan rokok di aspek publik manapun,

Kartono mengaku heran alasan Indonesia tak juga melarang iklan rokok ini. Padahal, dia menambahkan, sudah banyak negara maju yang telah menerapkan aturan ini. Pihaknya bahkan sudah berkali-kali menuntut adanya aturan tegas dari pemerintah. Namun sayangnya, upaya ini tak kunjung tercapai.

 “Ini tentu ada sesuatu di balik itu (tak ada aturan tegas—Red),” tegasnya. Menurut Kartono, rokok akan selalu ada selama masih ada para pecandu. Mereka akan selalu mencari dan menikmati  rokok dalam kondisi apapun selama tidak ada aturan tegas. 

Kartono juga mencontohkan bagaimana fenomena anak di bawah umur yang secara terang-terangan merokok. Terlebih lagi para pemilik warung yang selalu bersikap membiarkan saat anak membeli rokok. Dia menilai, hal ini terjadi akibat tidak ada sanksi tegas bagi para pemilik warung. Jika tersedia sanksi ini, tambah dia, mereka tentu tidak mengizinkan anak membeli rokok.

Untuk menekan  jumlah rokok di Indonesia, Kartono berpendapat, harga rokok harus dinaikkan lebih tinggi lagi. Kemudian iklan rokok harus dilarang sama sekali di seluruh aspek manapun terutama di publik. Pemerintah juga perlu melarang perdagangan rokok eceran yang terbukti memudahkan pembeli. Selain itu, pelarangan tegas penjualan rokok terhadap anak di bawah umur.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, perokok berusia 15 tahun ke atas cenderung terus meningkat. Semula dari 34,2 persen pada 2007 menjadi 36,3 persen pada 2013. Kondisi ini merata di seluruh provinsi di Indonesia.

Sementara, data dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2014 menunjukan prevalensi perokok anak usia 13 sampai 15 tahun sebesar 20,3 persen. Data tersebut juga mengungkapkan anak-anak mengaku pernah melihat iklan promosi rokok di toko (60,7 persen), melihat perokok di TV, video, atau film (62,7 persen) dan pernah ditawari //sales// rokok (7,9 persen). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement