REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua KPK, Agus Rahardjo mempertanyakan dasar hukum penarikan kontribusi yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta terhadap perusahaan pengembangan proyek reklamasi. Menurut Agus, sebagaimana mestinya penarikan kontribusi tersebut harus didahului dengan payung hukum yang jelas.
"Kalau tidak ada peraturannya berarti kita tanda tanya besar dong, peraturannya harus disiapkan dulu," kata Agus di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (20/5).
Ia menilai Pemprov DKI semestinya membuat aturan hukum terlebih dahulu sebelum menarik kontribusi tersebut. Hal ini sebagaimana semestinya aturan yang berlaku dalam tata kelola pemerintahan.
Menurut Agus, jika peraturan di tingkat pusat tidak ada, maka bisa dibuat peraturan di tingkat bawahnya. "Kan bisa buat Perda, buat Pergub, jangan kemudian kalau sebagai birokrat bertindak sesuatu tanpa ada acuan perundang-undangannya itu kan tidak boleh," katanya.
Ia juga tidak sepaham jika perjanjian untuk penarikan kontribusi tanpa disertai payung hukum tersebut disebut sebagai diskresi. Menurut dia, tetap perlu ada aturan yang mendasari terkait penarikan kontribusi tersebut. "Kan diskresi juga ada rambu-rambunya," kata Agus.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengakui adanya penarikan kontribusi melalui "perjanjian preman" yang dilakukan pemerintah provinsi dengan para pengembang yang terlibat pengerjaan reklamasi. Dalam "perjanjian preman" tersebut, empat perusahaan pengembang yang terdiri atas PT Muara Wisesa, PT Jakarta Propertindo, PT Taman Harapan Indah, dan PT Jaladri Kartika Pakci disebut akan membantu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengendalikan banjir di kawasan utara Jakarta.
Adapun perjanjian ini dibuat karena tidak ada peraturan daerah (perda) yang bisa dijadikan sebagai landasan kuat penarikan kewajiban tambahan. Kesepakatan itu, menurut dia, dibuat berlandaskan Keputusan Presiden No.52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.