REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertanyakan dasar hukum yang digunakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menarik kontribusi dari sejumlah perusahaan pengembang. "Kalau tidak ada peraturannya, berarti kita tanda tanya besar dong. Peraturannya harus disiapkan terlebih dahulu," kata Ketua KPK Agus Rahardjo, di gedung KPK, Jakarta, Jumat (20/5).
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengakui bahwa ada "perjanjian preman" terhadap pengembang reklamasi karena tidak ada peraturan daerah (perda) yang bisa dijadikan landasan kuat penarikan kewajiban tambahan. Menurut dia, kesepakatan itu dibuat berlandaskan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
"Seyogianya semua tindakan kalau tidak ada dasar hukumnya, tidak ada dasar peraturannya, itu bisa dibuat. Kalau di tingkat pusat tidak ada peraturannya, kita bisa buat perda, buat pergub, jangan kemudian kita kalau sebagai birokrat bertindak sesuatu tanpa ada acuan perundang-undangannya. Itu kan tidak boleh," tegas Ketua KPK.
Menurut Agus, bila pemprov ingin menarik kontribusi tambahan, perlu dibuat peraturan daerah (perda) terlebih dahulu. Agus mengatakan bahwa bila "perjanjian preman" itu masuk kategori sebagai diskresi, diskresi juga ada batasannya. "Diskresi ada rambu-rambunya," ucapnya.
Dalam "perjanjian preman" tersebut, empat perusahaan pengembang reklamasi, yaitu PT Muara Wisesa, PT Jakarta Propertindo, PT Taman Harapan Indah, dan PT Jaladri Kartika Pakci disebut akan membantu Pemprov DKI dalam mengendalikan banjir di kawasan utara Jakarta.
"Di situ ada keppres menyebutkan ada tiga sebetulnya. Jadi, landasannya dari situ. Satu ada tambahan kontribusi. Ada kewajiban, kalau kewajiban kan fasum (fasilitas umum) fasos (fasilitas sosial). Ada kontribusi 5 persen. Di situ katakanlah ada kontribusi tambahan, tetapi enggak jelas apa. Ya, saya manfaatkan dong (untuk dibuatkan perjanjian sendiri)," kata Ahok pada tanggal 13 Mei 2016.
Menurut Ahok, khusus PT Agung Podomoro Land sudah mengeluarkan Rp 200 miliar. Namun, nominal tersebut belum sepenuhnya dari nilai kontribusi tambahan yang semestinya.
"Agung Podomoro sudah serahkan berapa? Dia sudah serahkan kepada kami Rp 200-an miliar. Yang sudah dikerjain jalan inspeksi, rusun, tanggul, pompa, dia sudah kerjain," ungkap Ahok.
Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015 sampai dengan 2035 dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta sudah dibahas sejak beberapa bulan lalu.
Namun, Pemprov DKI Jakarta dan Balegda DPRD DKI Jakarta belum sepakat karena pemprov setempat mengusulkan tambahan kontribusi 15 persen nilai jual objek pajak (NJOP) dari lahan efektif pulau, seluas 58 persen luas pulau.
Sementara, sejumlah anggota Baleg DPRD mengusulkan persentase NJOP dan luasan faktor pengali yang jauh lebih kecil, yaitu sebesar 5 persen. Kata sepakat antara Pemprov DKI Jakarta dan DPRD sempat tercapai saat 15 persen NJOP akan diatur melalui peraturan gubernur (pergub).
Namun, saat membahas konsep kedua raperda pada tanggal 22 Februari 2016 dengan perubahan Pasal 110 Ayat (13) mengenai besaran, tata cara, dan kontribusi tambahan, kedua pihak belum menemukan kata sepakat.
KPK dalam perkara ini juga sudah mencegah keluar negeri lima orang, yaitu Sekretaris Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Berlian, karyawan PT APL Gerry Prasetya, Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Sunny Tanuwidjaya, Direktur Agung Sedayu Group Richard Halim Kusuma, dan petinggi Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan Sugianto.
Dalam perkara tersebut, KPK menetapkan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Arieswan Widjaja dan Personal Assistant PT APL Trinanda Prihantoro sebagai tersangka pemberi suap sebesar Rp 2 miliar kepada Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi.