REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Lingkar Madani (LIMA) Indonesia, Ray Rangkuti, menilai Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan bertindak tak etis terkait Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar. Tudingan Ray itu didasarkan pada langkah Luhut yang seolah-olah menjadi kepanjangan tangan Presiden Joko Widodo.
''Menurut saya apa yang dilakukan Luhut kurang etis. Apa betul membawa pesan presiden?'' ujar Ray dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Ahad (15/5).
Ray merujuk pada Pidato Presiden Joko Widodo saat membuka Munaslub Golkar di Bali, Sabtu (14/5) malam. Yakni saat Jokowi -sapaan Joko Widodo- menegaskan sikapnya yang tak punya kepentingan soal calon ketua umum Golkar.
Hal itu berbeda dengan Luhut dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memang kader partai berlambang beringin itu. Anehnya, kata Ray, kesan yang muncul justru Luhut hanya berpihak pada Setya Novanto.
''Padahal presiden dalam pembukaan (munaslub) sudah jelas pidatonya. Mengapa Luhut kesannya mengistimewakan Setnov? Ada apa ini?'' Ray menanyakan.
Ray justru mengajak publik atau pun pemilik suara di Munaslub Golkar berpikir. Yakni untuk menimbang benar atau tidaknya Jokowi punya misi ke Golkar dengan mengutus Luhut agar membela Setnov.
Ray menyebut hal itu perlu diklarifikasi. ''Kita tahu presiden sudah pernah marah dalam dalam kasus Papa Minta Saham. Ini harus cepat diklarifikasi,'' katanya.
Tapi jika ternyata Jokowi tidak mengutus Luhut maka harus ada tindakan. ''Kalau tidak ada pesan dan hanya mengklaim, itu harus ditegur presiden. Dia (Luhut, red) punya kewenangan apa?'' tegasnya.
Sebelumnya, Luhut telah memanggil Setya Novanto. Usai pertemuan itu, Luhut menyatakan ke wartawan bahwa Presiden Jokowi tak nyaman jika ketua umum Golkar merangkap jabatan.