Selasa 10 May 2016 22:23 WIB

'Reklamasi Harus Dilihat Secara Luas'

Diskusi tentang reklamasi di Jakarta, Selasa (10/5).
Foto: qycomm
Diskusi tentang reklamasi di Jakarta, Selasa (10/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik reklamasi teluk Jakarta yang tersandung masalah hukum dan berujung pada moratorium reklamasi, menjadi perhatian besar bagi masyarakat sehingga menilai reklamasi adalah sesuatu yang dinilai negatif atau tabu untuk dilakukan. Padahal, seharusnya persoalan reklamasi harus di lihat secara luas yaitu upaya melakukan revitalisasi daerah menjadi lebih baik.

 

Antropolog Universitas Indonesia, Nurmala Kartini Pandjaiyan Sjahrir, mengatakan reklamasi bukanlah sesuatu yang baru dan tidak harus dilihat negatif. Terlebih reklamasi sendiri tidak bisa dihindari ditengah ancaman perubahan alam atau climate change. “Reklamasi itu menjadi obat penawar bagi daerah untuk bisa lebih baik lagi selama masih mengacu aturan yang berlaku dan sesuai analisis dampak lingkungan atau amdal,”ujarnya di Jakarta, Selasa (10/5).

 

Menurutnya, reklamasi bagi Indonesia sebagai negara kepulauan adalah suatu keniscayaan ditengah banyaknya pulau di Indonesia mulai tergerus akibat pemanasan global. Maka untuk memuluskan reklamasi berjalan sesuai aturan dan memperhatikan dampaknya bagi masyarakat, tentunya pemerintah sebagai regulator harus menyusun aturan main yang benar dan kordinasi yang baik. Pasalnya, selama ini aturan soal reklamasi diakui Nurmala masih tumpang tindih.

 

Bagaimanapun juga reklamasi harus dilihat secara luas bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan, tetapi untuk kepentingan masyarakat luas. Jadi dalam proses pelaksanaan reklamasi tetapi harus diperhatikan amdalnya terhadap sosial ekonomi dan lingkungan sekitar. Kemudian hasil dari amdal sendiri harus disosialisasikan kepada masyarakat luas dan bukan sebaliknya ditutupi. “Jangan sampai masyarakat menganalisa sendiri soal reklamasi dengan informasi yang minim.” katanya.

 

Hal senada juga disampaikan Hendricus Andy Simarmata, ahli tata ruang. Dirinya menuturkan, reklamasi tidak harus dilihat dari ouptutnya saja tetapi proses dan tujuannya. Selama ini, banyak aturan soal reklamasi yang masih tumpang tindih antara pemerintah daerah dan pusat. “Aturan reklamasi yang sudah hadir sejak tahun 1995, kini bergerak dinamis sehingga banyak aturan baru yang disesuaikan dengan kondisi perkembangan terkini,” tuturnya.

 

Namun terlepas dari aturan yang masih tumpang tindih, kata Andy, reklamasi dalam praktiknya harus memperhatikan amdal. Karena bila tidak memperhatikan ekosistem bawah laut dan sedimentasi akan menuai dampak lingkungan yang lebih besar lagi.

 

Dirinya pun mengakui, yang bisa diambil dari reklamasi adalah lahan baru, kegiatan ekonomi, menambah pendapatan daerah dan menghadirkan ruang terbuka hijau yang baru. Diharapkan dengan rekayasa engineering, bisa mengubah pola arus, sedimentasi alami juga bisa diatasi. “Itu semua bisa didapatkan bila reklamasi dilakukan sesuai kaidahnya. Tentunya bila tidak sesuai kaidah, maka akan fatal.”paparnya. Intinya, lajut Andy, reklamasi tidak bisa anti sosial tetapi harus pararel dengan pemulihan lingkungan.

 

Sementara pengamat politik Damianus Taufan menambahkan, pemerintah harus menjelaskan secara luas dan terbuka soal moratorium reklamasi, mana aturan yang harus ditinjau kembali. “Bila tanpa ada penjelasan dan kepastian soal moratorium akan merugikan pelaku usaha,” tuturnya.

 

Kata Taufan, bagi pelaku usaha kepastian hukum adalah penting bagi kelanjutan bisnis. Oleh karena itu, penyelesaian kasus reklamasi teluk Jakarta menjadi momentum penting dampaknya bagi keberlangsungan reklamasi di daerah lainnya. Tercatat ada 17 daerah yang memiliki program reklamasi yang saat ini tertunda karena kasus reklamasi teluk Jakarta.

 

Menurut pandangan Benny Soetrisno selaku pengusaha yang juga anggota KEIN, sebaiknya semakin cepat moratorium diselesaikan karena kerugian tidak diderita bisnis sendiri tapi kesempatan lain juga. Terlebih bila kucuran pinjaman bank atau loan deposit ratio sudah 90 persen dan bila ada ada yang berhenti berarti ekonomi akan terganggu.”Kita selaku pengusaha butuh kepastian hukum dari pemerintah.”ujarnya.

 

Dalam hal ini, investor atau pihak swasta jangan selalu dilihat sebagai bad guy dan harusnya dipandang sebagai simbiosis mutualisme. Bagaimanapun juga tanpa investor tidak akan ada lapangan pekerjaan dan pendapatan daerah yang baik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement