Senin 09 May 2016 07:04 WIB

Menggugat Demokrasi Soal Pemberhentian Fahri Hamzah

Red: M Akbar
Ubedilah Badrun
Foto:

Pertama, argumentasi dengan dasar UU MD 3. Bahwa dalam Pasal 87 ayat (1) UU No 17 tahun 2004 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) dikatakan Pimpinan DPR berhenti dari jabatannya karena meninggal dunia, mengundurkan diri dan diberhentikan.

Penjelasan pemberhentian tersebut kemudian diperjelas  dalam Pasal 87 ayat (2) huruf a hingga g, yang beberapa di antaranya menyebutkan bahwa pimpinan DPR diberhentikan sesuai usul partai politik, ditarik keanggotaannya oleh partai politiknya, dan diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan perundang-undangan.

Konsekuensi dengan diberhentikannya Fahri Hamzah (FH) sebagai anggota parpol oleh PKS dan ditarik keanggotaannya itulah yang bisa dijadikan pintu masuk untuk memberhentikan FH sebagai pimpinan DPR.

Kedua, argumentasi posisi politik (political standing). Bahwa ketika seseorang status keanggotaan partainya hilang maka political standing (posisi politik) yang bersangkutan dalam konteks pimpinan DPR gugur dengan sendirinya, sebab ia tidak berasal dari partai manapun.

Sementara pimpinan DPR sebagaimana dalam UU MD 3 mensaratkan latar sebagai anggota DPR yang diusulkan dari Fraksi dan yang bersangkutan adalah jelas sebagai anggota  DPR yang terpilih melalui pemilu yang juga dicalonkan oleh PKS.

Ketiga, argumentasi substansi pembangunan institusi demokrasi. Bahwa salah satu agenda penting pembangunan demokrasi adalah membangun partai politik yang berkualitas. Salah satu upaya tersebut adalah penguatan partai politik.

Tentu penguatan partai tersebut harus merujuk pada regulasi atau undang-undang partai dan undang -undang lainya. Maka ketika partai politik menggunakan hak konstitusionalnya memecat seseorang dari keanggotaanya maka stake holders politik lainya memiliki kewajiban moral dan kewajiban konstitusional menghormatinya.

Pelambatan pimpinan DPR merespon permintaan PKS sama saja artinya bahwa pimpinan DPR tidak menghormati hak konstitusional partai politik. Karenanya sikap lamban pimpinan DPR RI patut dipertanyakan sesungguhnya pimpinan DPR bekerja taat pada konstitusi atau taat pada kepentingan?

Wallahua'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement