REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akar masalah kasus lima warga negara Cina yang melakukan pengeboran ilegal di kawasan Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta, mulai terkuak. Selama sepekan kemarin, Komisi III DPR melakukan penelusuran informasi secara intensif.
"Dapat disimpulkan akar masalahnya tak lain soal minimnya jumlah sumber daya manusia Direktorat Jenderal Imigrasi," kata anggota Komisi III Sufmi Dasco Ahmad, Jumat (6/5).
Faktanya, kata dia, memang sulit bagi Ditjen Imigrasi untuk mengawasi pergerakan serta tindak tanduk orang asing dengan jumlah pegawai yang masih sangat sedikit. Saat ini jumlah pegawai Ditjen Imigrasi sekitar 7000 orang, jumlah yang sangat sedikit untuk negara Indonesia yang demikian besar. Bandingkan dengan Malaysia yang wilayahnya jauh lebih kecil dari Indonesia. Pegawai imigrasinya mencapai 12 ribu orang. Singapura dengan wilayah sekecil itu bahkan memiliki 6.000 orang pegawai.
Politikus dari Partai Gerindra tersebut mengatakan dengan minimnya jumlah pegawai tersebut tak heran fungsi pengawasan dan intelijen keiimigrasian yang diamanatkan oleh UU Nomor 6 Tahun 2011 menjadi sangat sulit untuk dilaksanakan. "Kami mendapat informasi bahwa saat ini banyak terjadi kekosongan dan kekurangan pejabat imigrasi di tempat pemeriksaan imigrasi (TPI) bandara, pelabuhan dan pos lintas batas negara di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT) serta pulau-pulau terluar," ujarnya.
Karena itu, penambahan pegawai Ditjen Imigrasi adalah syarat mutlak perbaikan kinerja. Menurut Dasco, setidaknya Indonesia memerlukan 20 ribu pegawai untuk meng-cover wilayah yang begitu luas.
Di sisi lain, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yudhi Chrisnadi harus mencabut moratorium penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Dirjen Imigrasi. Dasco menyebut moratorium tersebut tidak bisa begitu saja diterapkan secara membabi buta pada setiap instansi pemerintah. Harus dipertimbangkan secara matang tergantung situasi dan kondisi masing-masing instansi.