REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Jabar, mendukung rencana Pemerintah Provinsi Jawa Barat segera menggratiskan pendidikan di Jawa Barat sampai SMA sederajat mulai tahun pelajaran 2016/2017. Menurut Ketua DPD FGII Jabar, Iwan Hermawan, secara de jure pengelolaan SMA sederajat mulai berlaku sejak di tetapkan 2014. Namun, pemerintah pusat dan daerah konsisten memenuhi 8 standar pendidikan Nasional.
"Berdasarkan kajian Kemendikbud thn 2015 Angka Partisipasi Murni (APM) Jawa Barat pada 2015 untuk Pendidikan Menengah hanya mencapai 45.9 persen dan alokasi untuk pendidikan dalam APBD 2015 hanya 1.69 persen dari total APBD," ujar Iwan kepada wartawan, Selasa (2/5).
Menurut Iwan, Jabar mendudiki urutan ke 30 dari 34 provinsi diatas NTB, Papua Barat dan Papua. Posisi tertinggi, DKI Jakarta sebesar 18.17 persen. Sedangkan alokasi APBD 2015, untuk pendidikan siswa rata-rata hanya Rp 44.800 /siswa/tahun. Ini, menduduki urutan ke 32 atau 34 provinsi diatas NTT yang berada di posisi 33 Rp 41.400 dan NTT posisi akhir Rp 36.700.
"Posisi tertinggi, DKI Jakarta Rp 6.484.500 persiswa/tahun," katanya.
Menurut Iwan, atas dasar tersebut maka FGII menutut ada alokasi untuk biaya operasional SMA/SMK sekurang-kurangnya Rp 2 juta rupiah/siswa/ pertahun ditambah Rp 1,5 juta rupiah /siswa/tahun dari BOS pusat.
"Sehingga, dengan biaya Rp 3,5 juta/siswa/tahun cukup untuk Biaya oprasional," katanya.
Sementara untuk biaya investasi, kata dia, selain bantuan dari pemerintah pusat dan daerah tidak diharamkan jika ada orang tua dari kalangan masyarakat kaya yang mau menyumbang sekolah. Saat ini, kata dia, pendekatan pendidikan di Jawa Barat menggunakan pendekatan residual. Yakni, menitik beratkan pada pemberian peluang bagi kaum mapan finansial untuk membantu memberikan sumbangsihnya.
Sisa quota, kata dia, kemudian diobral muarah kepada golongan yang saat itu diistilahkan sebagai kaum residual. Seharusnya, Jawa Barat mengunakan pendekatan universal atau rahmatan lil alamin. Artinya, akses pendidikan gratis untuk semua kalangan masyarakat dengan kemampuan kognitif baik, tak peduli mapan finansial, maupun tidak.
"Yang mapan berhak mendapatkan akses gratis, karena secara fakta Ia membayar pajak lebih tinggi. Yang kurang mapan pun berhak (bahkan sangat berhak) merasakan manisnya pendidikan gratis," katanya.