Tidak ada di antara mereka yang terus menyalahkan, apalagi mudah mengafirkan. Di akhir zaman ini makin gampang ditemui kelompok yang mudah mengafirkan saudara seakidahnya, namun diam terhadap kaum kafir yang sering menyakiti umat.
Umat lelah berpuluh tahun dihabiskan berdebat hanya berbeda rakaat tarawih, qunut atau tidak, dan semisalnya. Padahal, masing-masing memiliki dalil dan sandaran hukum. Alhamdulillah, perdebatan itu sudah tidak ada lagi.
Hal menggembirakan ketika ada jamaah Majelis Rasulullah dengan atribut jaket hitam khasnya mengikuti pengajian di Majelis Nurul Mustafa, dan sebaliknya. Tidak ada sekat kelompok. Mereka juga gabung mengikuti ODOJ, dan semisalnya.
Jika tiap kelompok Islam saling menghargai dan mendukung pola dakwah masing-masing kelompok Islam lainnya (asal tidak terbukti sesat sesuai Quran, sunah, dan ijma ulama), betapa indahnya. Jangan lagi mudah terpancing dengan isu memecah.
Saya membayangkan, tokoh bisa bersatu dan mendesak dicabutnya larangan takbir keliling dan sahur on the road sebagai satu syiar. Atau mengganti syiar lain, seperti zikir atau shalawat konvoi berkendara secara periodik.
Apa yang disenangi remaja ketika takbir dan sahur keliling? Mereka senang berkeliling di jalan, seperti hiburan tapi tanpa sadar akan tertanam semangat mensyiarkan Islam sejak dini. Budaya ini juga membuat sanksi moral bagi pelaku maksiat.
Amati saja, dulu ada konvoi takbir keliling lewat, pelaku maksiat jadi malu. Tanpa kekerasan, pelaku maksiat sadar diri sendiri karena menjadi tontonan dan malu mendengar takbir. Ketika syiar dilarang, mereka lari menjadi geng motor atau pacaran di jalanan.