REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nelayan tradisional yang sehari-hari berangkat melaut dan menjual ikan di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara, meminta pemerintah memperhatikan nasib mereka yang semakin terpuruk akibat proyek reklamasi pulau di Teluk Jakarta.
"Namanya nelayan kan cari makan dari melaut, kalau bisa jangan diganggu apa yang jadi hak kami. Kami hanya minta diperhatikan, tidak dipersulit untuk menangkap ikan dan dikasih sarana seperti tempat sandar kapal," ungkap Rudi Hartono (38), salah satu nelayan di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Selasa (12/4).
Dampak negatif reklamasi yang paling dirasakan nelayan yakni berkurangnya hasil tangkapan karena air laut menjadi keruh oleh pasir dan material bangunan pulau buatan. Rudi mengatakan hasil tangkapan ikan menurun drastis lebih dari 50 persen.
Jika sebelumnya para nelayan bisa memperoleh dua sampai tiga ton ikan dalam sehari, kini mereka hanya mampu menjaring satu ton atau sedikitnya delapan kuintal ikan. Sementara dari segi pendapatan, nelayan yang tadinya bisa mengantongi Rp 150-200 ribu sekali melaut, kini hanya mendapat Rp 25-50 ribu.
"Dulu kita lewat sedikit dari pulau buatan ini masih bisa dapat ikan di situ, setelah ada pulau itu kita harus melaut lebih jauh. Biaya solar habis banyak, perbekalan makan habis banyak, sedangkan penghasilan tidak ada," ungkap Rudi.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memperkirakan proyek reklamasi 17 pulau akan tetap berlangsung karena payung hukumnya sudah tersedia. "Reklamasi 17 pulau itu bisa saja tetap berlanjut, karena payung hukumnya memang sudah ada. Berarti, reklamasi bisa terus berjalan," kata pria yang akrab dipanggil Ahok itu.
Menurut dia, payung hukum reklamasi 17 pulau tersebut telah tercantum di dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang (RTRW) Pantai Utara Jakarta.