REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proyek reklamasi Pulau G oleh PT Muara Wisesa Samudra (anak perusahaan Agung Podomoro Group) di Teluk Jakarta saat ini masih terus berlangsung.
Dampak buruk lingkungan yang ditimbulkan proyek itu pun membuat warga Muara Angke, Jakarta Utara, merasa kian resah.
"Ini seperti efek domino. Yang dirugikan tidak hanya nelayan, tetapi para tengkulak juga," kata salah satu pengepul ikan di Muara Angke, Muhammad Hasyim (60 tahun), saat ditemui Republika.co.id, Selasa (12/4).
Hasyim mengatakan, sebelum adanya proyek reklamasi, biasanya ia menerima hasil tangkapan rata-rata 70 kg ikan dari setiap nelayan tradisional di Muara Angke.
Total ikan yang ia kumpulkan bisa mencapai 900 kg per harinya. Namun, sejak reklamasi Pulau G dilakukan oleh PT Muara Wisesa Samudra, ikan yang ia terima dari setiap nelayan jauh menurun menjadi rata-rata 20 kg ikan per hari.
"Kini, ikan yang saya kumpulkan dari semua nelayan langganan saya totalnya hanya 70 kg ikan per hari," ujarnya.
Penerimaan ikan yang menurun drastis itu jelas membuat Hasyim merasa sengsara. Pasalnya, kondisi itu otomatis juga membuat pendapatannya sebagai tengkulak di Muara Angke kian menyusut.
"Penghasilan saya turun hingga 80 persen," ucapnya.
Sebelumnya, warga Muara Angke lainnya, Esih (46 tahun), juga mengaku merasa menderita akibat proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Menurutnya, banyak perempuan di kawasan itu kini terpaksa beralih profesi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka.
Sebelum adanya reklamasi, kata dia, perempuan-perempuan di sana bisa mendapat penghasilan yang lumayan dengan bekerja di tempat pengolahan ikan Muara Angke. Ada yang mengupas udang, mengasinkan ikan, dan sebagainya.
"Kini tak sedikit dari kami (perempuan Muara Angke) yang beralih jadi buruh cuci atau pengumpul sampah. Dapet Rp 50 ribu sehari saja udah untung, Mas," jelasnya.