REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muktamar VIII PPP di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur, ditunding sebagai forum akal-akalan oleh Kkubu Djan Faridz. Akibatnya, Djan berencana melaporkan panitia Muktamar itu karena dinilai telah menggunakan nama PPP tanpa izin.
''Kenapa palsu? yang menyelenggarakan muktamar itu adalah DPP PPP hasil muktamar Bandung, yang memiliki legalitas surat keputusan Menkuham dan muktamar itu atas permintaan pemerintah juga, itu tertulis dalam SK Menkumham, agar muktamar rekonsiliatif, partisipatif dan keadilan,'' kata Politikus PPP, Arsul Sani, kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (11/4).
Menurut anggota Komisi III DPR RI itu, meski kubu Djan menggunakan putusan Mahkamah Agung untuk mengklaim mereka yang sah. Tapi hal itu tidak lantas membuat pelaksanaan Muktamar tidak memiliki dasar hukum.
''Jadi begini, perkara yang ada itu putusan perkara perdata, kita semua tahu yang namanya perkara perdata itu sudah diputus A oleh para pihak dan kemudian sepakat oleh para pihak, katakanlah melakukan yang B bukan yang A itu tidak menjadi masalah,'' jelas Arsul.
Ia mengatakan ini bukan perkara pidana yang menyangkut kepentingan umum. Tapi kalau perkara perdata itu adalah perkara yang menyangkut yang ada pada para pihak di perkara itu.
''Jadi sepanjang para pihak itu sepakat untuk menyelesaikan cara lain ya tidak menjadi masalah. Dan dalam masalah ini adalah muktamar kemarin itu menghendaki agar pintu islah itu dibuka,'' tegas dia.