Selasa 05 Apr 2016 19:49 WIB

Soal Panama Papers, Fadli Zon Minta Duit Pengusaha di Luar Negeri Ditarik

Rep: Qommaria Rostanti/ Red: Achmad Syalaby
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon.
Foto: Republika/Wihdan
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan ini, publik digemparkan oleh dokumen Panama Papers yang mengungkap dugaan praktik pengemplangan pajak dan pencucian uang tokoh-tokoh di berbagai negara. Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyebut Panama Papers menunjukkan adanya suatu celah.

"Orang perlu suatu safe haven untuk menyimpan dana yang mungkin sulit untuk dipertanggungjawabkan," ujar Fadli di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (5/4). Seorang pengusaha, kata dia, bisa saja memiliki kekayaan tidak terbatas. Seorang politikus pun bisa jadi mempunyai harta kekayaan yang besar. Namun bisa jadi itu bukan dari hasil korupsi, melainkan dari bisnis usahanya di bidang lain.

(Baca: Luhut Telusuri Pengusaha yang Terlibat Skandal Panama Papers).

Politikus Gerindra ini mengatakan mereka yang mempunyai dana besar yang disimpan di negara lain seharusnya merepatriasi dananya ke dalam negeri atas nama kepentingan bangsa. Hal ini pula yang menjadi niat baik dari Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty yang segera dibahas dan disahkan DPR. RUU ini diharapkan mampu menarik dana warga Indonesia yang selama ini diparkir di luar negeri. 

Pemerintah pasti menginginkan dana warga Indonesia yang tersimpan di luar negeri ditarik dan disimpan di Indonesia. "Untuk itu perlu perlakuan baik dan wajar sehingga dana tidak keluar," kata dia. Fadli mengatakan pada 2017 atau 2018 akan ada perjanjian internasional tentang penyingkapan aset-aset dan rekening-rekening yang ada di luar negeri.

Seperti diberitakan sebelumnya, laporan milik firma hukum Panama, Mossack Fonseca, bocor ke publik. Dokumen yang diberi nama Panama Papers ini berisi kesepakatan dugaan praktik pencucian uang dengan para politisi dan tokoh publik dari berbagai negara.

Panama Papers dibuat berdasarkan penyelidikan dari lebih dari 11,5 juta dokumen dari Mossack Fonseca. Dokumen tersebut berasal dari kurang lebih 40 tahun lalu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement