REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) telah menerjunkan tim investigasi untuk memantau kasus kematian terduga teroris Siyono. Berdasarkan temuan tim tersebut, diduga banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi.
Salah satu buktinya yakni tidak ada surat penangkapan ataupun penggeledahan dari kepolisian. "Itu hal paling fundamental dan menjadi tanggungjawab kepolisian. Ini bukan upaya tangkap tangan sehingga harus ada surat," ujar Kepala Divisi Pembela Hak Sipil Politik KontraS Putri Kanesia dalam konferensi pers Mencari Keadilan untuk Suratmi di Jakarta, Jumat (1/4).
Kepolisian juga tidak memberitahu keluarga kemana Siyono akan dibawa usai ditangkap. Keluarga hanya tahu Siyono dikembalikan saat dalam kondisi meninggal dunia.
Putri mengatakan banyak luka pada tubuh Siyono, yakni luka memar di pipi, mata kanan lebam, patah tulang hidung, kaki (mulai dari paha hingga betis) bengkak, kuku hampir patah, dan keluar darah dari kepala. Hal ini perlu ditindaklanjuti, terutama penyebab sebenarnya kematian Siyono yang selama ini baru berstatus sebagai terduga teroris.
Asas praduga tak bersalah harus berlaku pada setiap warga negara Indonesia (WNI). "Siapa pun dia, baru terduga atau tidak, berhak diperlakukan secara wajar," kata Putri.
Kepolisian sempat menyatakan Siyono hendak berusaha melarikan diri. Menanggapi ini, Putri pun meminta kepolisian kembali melihat prosedur penanganan terduga terorisme. Mengenai tudingan Siyono menyerang satu orang aparat yang mendampinginya, Putri mengungkapkan, itu tak masuk akal. "Bagaimana mungkin terduga teroris hanya dijaga satu orang dan akhirnya justru berakibat buruk pada Siyono," kata dia.