Kamis 10 Mar 2016 15:47 WIB

Perkawinan Tanpa Catatan Sipil di Yogya Masih Tinggi

Rep: Yulianingsih/ Red: Yudha Manggala P Putra
Petugas merapikan buku nikah di Kantor Urusan Agama (KUA).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Petugas merapikan buku nikah di Kantor Urusan Agama (KUA).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Angka perkawinan yang tidak didaftarkan secara resmi di Kantor Catatan Sipil di Kota Yogyakarta ternyata masih cukup tinggi. Berdasarkan data temuan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jaringan Penanganan Korban Kekerasan Berbasis Gender Kota Yogyakarta diketahui, hingga 2015 lalu terdapat sedikitnya 600 perkawinan tanpa pendaftaran di catatan sipil atau Dinas Kependudukan setempat. Angka ini diyakini masih bertambah.

Menurut Kepala UPT Jaringan Penanganan Korban Kekerasan Berbasis Gender Kota Yogyakarta Anik Setyawati Saputri, mengatakan data ini diperoleh dari akte kelahiran anak yang hanya menyebutkan terlahir dari seorang perempuan bernama seseorang. Padahal pada umumnya, akte kelahiran anak akan menyebut si anak lahir dari perempuan bernama siapa dan laki-laki bernama siapa.

"Ini membuat status anak ikut si Ibu," katanya, disela sosialisasi kekerasan terhadap perempuan dan anak di balai kota Yogyakarta, Kamis (10/3).

Akibat hal itu maka status anak sendiri juga berbeda sejak lahir. Hal ini akan dibawa anak sampai dewasa nanti. Hal ini kata dia, jelas membutuhkan kesiapan mental dari Ibu dan anaknya sendiri.

”Ini menjadi persoalan tersendiri, karena saat mengurus surat-surat si anak pasti akan ditanya ayahnya,” ujarnya.

Selain perkawinan yang tak terdaftar, dari catatannya, penelantaran suami terhadap isteri dan anak juga sangat banyak. Di dalam catatan baik surat nikah maupun Disdukcapil tertera nama suami. Tapi, sang suami sudah bertahun-tahun tak pernah mengurus keluarganya.

Hal ini kata dia,  juga menjadikan persoalan tersendiri. Sebab katanya, keluarga tersebut sulit mendapaat bantuan sosial karena di kartu keluarga tertera nama suami yang berpenghasilan. "Padahal kenyataannya suaminya mentelantarkan keluarganya," ujarnya.

Pemkot Yogyakarta sendiri kata dia, sudah berupaya melakukan pendampingan psikis sampai dengan di peradilan terhadap kasus semacam ini. Bahkan semua biaya ditanggung Pemkot setempat.

Termasuk dengan perlindungannya. Kaum perempuan yang mengajukan tuntutan ke pengadilan tak perlu khawatir akan hak-haknya. Mereka akan mendapatkan perlindungan sejak dari kepolisian, kejaksaan, atau pengadilan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement